Ditulis Oleh drh. M. Arifin Basyir
Selasa, 19 Januari 2010
Sebagaimana produksi embrio in vivo yang mengenal atau terkendala dengan angka harapan perolehan non predictable, maka dalam produksi embrio spliting dan fertilisasi in vitro (FIV) juga dikenal prinsip yang sama. Pada prinsipnya kedua hal tersebut sangat bergantung pada profesionalisme yang proporsional dalam pelaksanaannya.
Sebagaimana disampaikan pada tulisan terdahulu bahwa pembelahan umumnya dilakukan pada fase embrional tertentu yaitu pada awal morula, morula dan kompak morula dengan bantuan mikroskop stereo pada pembesaran tertentu. Perubahan petumbuhan dari awal morula ke tahapan morula dan morula ke kompak morula diprakirakan umumnya masing-masing membutuhkan waktu rata-rata 24 jam. Hal ini selanjutnya dapat diartikan pula bahwa masa hidup masing-masing tahapan berlangsung selama 24 jam atau sebagai kesempatan melakukan spliting.
Dengan demikian kesempatan melakukan spliting secara keseluruhan menjadi 3 X 24 jam untuk tahapan awal morula, morula dan kompak morula tersebut. Setiap kali perlakuan spliting, masing-masing hasil belahan embrio yang diperoleh dibiakkan (inkubasi) dalam media dan suhu tertentu selama 2-4 jam untuk mengetahui kehidupannya dengan memperhatikan tingkat tumbuh-kembang sel-sel blastomernya. Masing-masing embrio belahan yang hidup harus bertumbuh kembang menjadi embrio yang utuh seperti sedia kala sebelum dibelah. Setelah masing-masing belahan embrio ini bertumbuh kembang menjadi utuh, diperlakukan lagi yaitu dilakukan pembelahan dan inkubasi. Demikian seterusnya perlakuan pembelahan dan inkubasi dikerjakan sampai habis waktu 3 X 24 jam.
Embrio-embrio yang bertahan hidup masih dapat diinkubasikan ketahapan berikutnya, yaitu awal blastosis, blastosis dan expand blastosis sebelum akhirnya ditransfer kepada sapi risipien yang telah terseleksi dan atau bila terpaksa perlu dibekukan untuk sementara waktu menunggu resipien yang ideal. Bioteknologi reproduksi yang high tech ini selain membutuhkan profesionalisme yang proporsional juga sangat membutuhlan tingkat keahlian berikut ketrampilan yang sangat tinggi. Selain itu karena pengerjaan harus dilakukan terus menerus berkesinambungan dalam waktu 3 X 24 jam, maka diperlukan pengaturan jam kerja dengan model shift melalui 3-4 kali pergantian setiap 24 jam.
Di lain pihak harus diperhitungkan penambahan tenaga kerja, karena jumlah embrio semakin banyak sebagai konsekuensi logis dari keberhasilan pembelahan spliting. Kalau mengacu pada identifikasi tumbuh kembang sel blastomer setiap 2-4 jam atau rata-rata 3 jam, maka dalam waktu 3 X 24 jam akan diperoleh kesempatan melakukan pembelahan spliting sebanyak : 3(24jam/3jam) = 24 kali. Berawal dari satu embrio dibelah menjadi 2; 2 menjadi 4; 4 menjadi 8; 8 menjadi 16, dst.
Maka dengan perhitungan deret ukur dalam 24 kali kesempatan akan diperoleh keberhasilan angka harapan perolehan produksi embrio spliting dan FIV sejumlah : 2 pangkat 24 (dua pangkat duapuluh empat) = 16.777.216 (enam belas juta tujuh ratus tujuh puluh tujuh ribu dua ratus enam belas) embrio.
Apakah akan berhasil sepenuhnya atau seberapa % tingkat keberhasilan itu sangat bergantung pada masing-masing individu SDM dengan mengacu pada prefesionalisme yang proporsional dan tingkat keahlian serta ketrampilannya. Katakanlah misalnya angka keberhasilan itu hanya 0,1%, maka angka harapan perolehan adalah 16.777 embrio. Suatu jumlah yang fantastis dan spektakuler dari satu embrio menjadi sejumlah itu. Dapat dibayangkan seandainya di masa mendatang nanti dapat berhasil mengembang biakkan sapi di tingkat sel embrio atau melalui suatu mekanisme yang lazim disebut kultur sel-jaringan, akan diperoleh angka efisiensi reproduksi yang sangat luar biasa. Bukan tidak mungkin akan merupakan pengembangan pola breeding sebagai suatu cabang usaha komersial sebagaimana peternakan pada umumnya. Boleh jadi merupakan suatu peternakan ‘makhluk halus’, makhluk halus dalam pengertian embriologi.
Penerapan bioteknologi reproduksi ini merupakan peluang, harapan dan tantangan yang harus dijawab secara konsekuen dan konsisten. Mengingat bahwa perkembangan dan manfaatnya di masa mendatang sedemikian menjanjikan, perlu kiranya dikelola secara baik dan benar serta profesional dan proporsional. Salah satu upaya yang mengarah itu perlu dipertimbangkan dikelola dalam satu wadah tersendiri suatu institusi atau instansi yang mencakup fungsi teknis berdasarkan ilmu terkait atau dalam kaitan disiplin ilmu yang termasuk didalamnya, antara lain embriologi, fisiologi reproduksi, endokrinologi, farmakologi, dsb .
Yaitu bioteknologi reproduksi insemenasi buatan (IB), transfer embrio (TE), pelestarian plasma nuftah, sumber materi genetika, dsb yang antara lain misalnya dalam wadah Balai Besar Pemberdayaan Bioteknologi Reproduksi dan Sumberdaya Genetika Hewan dan Ternak. Bisa jadi berada dalam naungan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan, karena menyangkut sumberdaya alam berupa hewan atau barangkali lingkup Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian atau institusi instansi tersendiri dalam liputan Menristek.
No comments:
Post a Comment