Thursday, October 21, 2010
OBAT-OBAT HEWAN
Sejarah Penggunaan Obat
http://akfar.putraindonesiamalang.or.id/sejarah-penggunaan-obat/
http://www.agrovetmarket.com/ViewCatalogUI.aspx?.language=2&gclid=CM6amNWSx5gCFcstpAodbk6p1w
Pada mulanya penggunaan obat dilakukan secara empirik dari tumbuhan, hanyaberdasarkan pengalaman dan selanjutnya Paracelsus (1541-1493 SM) berpendapat bahwa untuk membuat sediaan obat perlu pengetahuan kandungan zat aktifnya dan dia membuat obat dari bahan yang sudah diketahui zat aktifnya.
Hippocrates (459-370 SM) yang dikenal dengan “bapak kedokteran” dalam praktek pengobatannya telah menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan.
Claudius Galen (200-129 SM) menghubungkan penyembuhan penyakit dengan teori kerja obat yang merupakan bidang ilmu farmakologi.
Claudius Galen (200-129 SM) menghubungkan penyembuhan penyakit dengan teori kerja obat yang merupakan bidang ilmu farmakologi.
Selanjutnya Ibnu Sina (980-1037) telah menulis beberapa buku tentang metode pengumpulan dan penyimpanan tumbuhan obat serta cara pembuatan sediaan obat seperti pil, supositoria, sirup dan menggabungkan pengetahuan pengobatan dari berbagai negara yaitu Yunani, India, Persia, dan Arab untuk menghasilkan pengobatan yang lebih baik.
Johann Jakob Wepfer (1620-1695) berhasil melakukan verifikasi efek farmakologi dan toksikologi obat pada hewan percobaan, ia mengatakan :”I pondered at length, finally I resolved to clarify the matter by experiment”. Ia adalah orang pertama yang melakukan penelitian farmakologi dan toksikologi pada hewan percobaan. Percobaan pada hewan merupakan uji praklinik yang sampai sekarang merupakan persyaratan sebelum obat diuji–coba secara klinik pada manusia. Institut Farmakologi pertama didirikan pada th 1847 oleh Rudolf Buchheim (1820-1879) di Universitas Dorpat (Estonia).
Selanjutnya Oswald Schiedeberg (1838- 1921) bersama dengan pakar disiplin ilmu lain menghasilkan konsep fundamental dalam kerja obat meliputi reseptor obat, hubungan struktur dengan aktivitas dan toksisitas selektif. Konsep tersebut juga diperkuat oleh T. Frazer (1852-1921) di Scotlandia, J. Langley (1852-1925) di Inggris dan P. Ehrlich (1854-1915) di Jerman. Sumber obat Sampai akhir abad 19, obat merupakan produk organik atau anorganik dari tumbuhan yang dikeringkan atau segar, bahan hewan atau mineral yang aktif dalam penyembuhan penyakit tetapi dapat juga menimbulkan efek toksik bila dosisnya terlalu tinggi atau pada kondisi tertentu penderita.
Untuk menjamin tersedianya obat agar tidak tergantung kepada musim maka tumbuhan obat diawetkan dengan pengeringan. Contoh tumbuhan yang dikeringkan pada saat itu adalah getah Papaver somniferum (opium mentah) yang sering dikaitkan dengan obat penyebab ketergantungan dan ketagihan. Dengan mengekstraksi getah tanaman tersebut dihasilkan berbagai senyawa yaitu morfin, kodein, narkotin (noskapin), papaverin dll. yang ternyata memiliki efek yang berbeda satu sama lain walaupun dari sumber yang sama Dosis tumbuhan kering dalam pengobatan ternyata sangat bervariasi tergantung pada tempat asal tumbuhan, waktu panen, kondisi dan lama penyimpanan. Maka untuk menghindari variasi dosis, F.W.Sertuerner (1783- 1841) pada th 1804 mempelopori isolasi zat aktif dan memurnikannya dan secara terpisah dilakukan sintesis secara kimia. Sejak itu berkembang obat sintetik untuk berbagai jenis penyakit.
Sumber:http://akfar.putraindonesiamalang.or.id/sejarah-penggunaan-obat/
http://www.agrovetmarket.com/ViewCatalogUI.aspx?.language=2&gclid=CM6amNWSx5gCFcstpAodbk6p1w
biotehnologi mengatasi gangguan reprodksi
Selain meningkatan mutu genetis, bioteknologi reproduksi selama ini dikenal sebagai salah satu upaya mencegah penyebaran penyakit infeksi saluran reproduksi. Sebenarnya ada juga gangguan reproduksi lain yang bukan penyakit menular dapat diatasi , baik pada generasi pertama maupun kedua dalam pemberdayaan bioteknologi reproduksi ini.
inseminasi-buatanBioteknologi reproduksi generasi pertama yaitu insemenasi buatan (IB) adalah upaya memberdayakan potensi genetis superior sapi jantan, yaitu sebagai donor benih berupa sel spermatozoa dalam bentuk semen beku. Selain meningkatkan efisiensi reproduksi dibanding kawin alam, maka IB juga mengatasi masalah reproduksi atau tepatnya adalah mencegah penyeberan penyakit infeksi reproduksi.
Salah satu cara yang ditempuh antara lain adalah seleksi yang meliputi bebas penyakit reproduksi terhadap calon pejantan unggul produsen semen beku, merupakan syarat mutlak yang tidak boleh ditawar lagi. Satu lagi prestasi IB dalam mengatasi gangguan reproduksi yang tidak termasuk dalam katagori penyakit menular atau tepatnya suatu malformasi atau gangguan bentuk anatomis yang dahulu diduga sebagai sifat genetis yang menurun, adalah white heifer disease atau hymen persisten. Yaitu suatu kelainan bentuk penebalan selaput dara sehingga tidak dapat ditembus oleh penetrasi penis pada kawin alam. White berarti putih yang dimaksud adalah ’suci’ suatu istilah simbol keperawanan pada tempo doeloe.
Dengan pengertian ini istilah white heifer disease adalah sapi dara tetap perawan atau selaput dara tetap utuh meski sudah digagahi oleh sapi jantan. Sapi dara yang menderita kelainan ini tidak ekonomis untuk dipelihara karena tidak dapat bunting atau tidak produktif. Dengan adanya bioteknologi reproduksi IB maka masalah ini dapat teratasi, karena sebagaimanapun ketebalan selaput dara dapat ditembus oleh alat kawin suntik atau gun IB.
transfer embrioBioteknologi reproduksi generasi kedua yaitu transfer embrio (TE) adalah upaya memberdayakan potensi genetis superior sapi betina, yaitu sebagai donor benih berupa oosit, ova dan embrio (setelah melalui fertilisasi secara in vivo maupun in vitro). Dalam TE juga terjadi peningkatan efisiensi reproduksi, karena dalam satu siklus birahi dapat dihasilkan lebih banyak benih dibanding hanya satu benih saja secara alami dalam setiap siklus birahi. Demikian pula prasyarat seleksi bebas penyakit reproduksi juga berlaku bagi sapi betina donor untuk menghindari penyebaran penyakit infeksi saluran reproduksi
Sebagaima pada IB mempunyai prestasi dalam mengatasi kelainan reproduksi yang tidak menular, maka TE juga mempunyai prestasi yang serupa yaitu mengatasi kemajiran akibat kelahiran kembar free martin. Pada jaman dahulu kelahiran kembar non identik jantan dan betina atau free martin ini didiagnosa akan terjadi kemajiran pada pedet betina, akibat dominasi hormonal jantan pada masa prenatal. Kemajiran free martin karena terjadinya kebuntingan pada salah satu kornua uteri, sehingga terjadi anastomose pembuluh darah plasenta pedet jantan maupun betina yang mengakibatkan tercampurnya aliran darah plasenta yang memasok nutrisi dan hormon reproduksi. Dalam penerapan TE maka kemungkinan terjadinya kemajiran akibat kelahiran kembar free martin dapat dikurangi, dengan menempatkan embrio pada kedua belah fihak (ipsilateral dan kontra lateral corpus luteum) kornua uteri kiri dan kanan dalam program kelahiran kembar. Sehingga secara fisik pertumbuhan embrio dan plasenta kedua-duanya terpisah jauh yang tidak memungkinkan terjadinya anastomose pembuluh darah.
Di lain fihak embrio dapat dirancang yang tidak mempunyai kekerabatan genetis (berbeda bangsa dan jenis), misalnya embrio sapi perah dan sapi potong atau dua benih embrio sapi potong yang beda bangsa. Diharapkan dengan beda kekerabatan genetis, tidak terjadi afinitas anastomose pembuluh darah plasenta.
Dalam program kelahiran kembar meskipun ada kemungkinan terjadi transmigrasi benih embrio yang telah ditempatkan terpisah antar kornua, sehingga menyatu kembali di salah satu kornua yang berakibat terjadinya kembar freemartin. Atau program kelahiran kembar lebih dari dua ekor yang tentunya salah satu kornua uteri mengandung lebih dari satu janin. Baca lagi meningkatkan efisiensi reproduksi melalui kelahiran pedet kembar. Namun kejadian freemartin tidak perlu ditakuti karena bagaimanapun juga sapi tetap mempunyai nilai ekonomis meskipun majir, yaitu untuk digemukkan sebagai sapi pedaging atau sapi potong. ( arifin.basyir@yahoo.comAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya )
image source: answers.com & bairnsley.com
inseminasi-buatanBioteknologi reproduksi generasi pertama yaitu insemenasi buatan (IB) adalah upaya memberdayakan potensi genetis superior sapi jantan, yaitu sebagai donor benih berupa sel spermatozoa dalam bentuk semen beku. Selain meningkatkan efisiensi reproduksi dibanding kawin alam, maka IB juga mengatasi masalah reproduksi atau tepatnya adalah mencegah penyeberan penyakit infeksi reproduksi.
Salah satu cara yang ditempuh antara lain adalah seleksi yang meliputi bebas penyakit reproduksi terhadap calon pejantan unggul produsen semen beku, merupakan syarat mutlak yang tidak boleh ditawar lagi. Satu lagi prestasi IB dalam mengatasi gangguan reproduksi yang tidak termasuk dalam katagori penyakit menular atau tepatnya suatu malformasi atau gangguan bentuk anatomis yang dahulu diduga sebagai sifat genetis yang menurun, adalah white heifer disease atau hymen persisten. Yaitu suatu kelainan bentuk penebalan selaput dara sehingga tidak dapat ditembus oleh penetrasi penis pada kawin alam. White berarti putih yang dimaksud adalah ’suci’ suatu istilah simbol keperawanan pada tempo doeloe.
Dengan pengertian ini istilah white heifer disease adalah sapi dara tetap perawan atau selaput dara tetap utuh meski sudah digagahi oleh sapi jantan. Sapi dara yang menderita kelainan ini tidak ekonomis untuk dipelihara karena tidak dapat bunting atau tidak produktif. Dengan adanya bioteknologi reproduksi IB maka masalah ini dapat teratasi, karena sebagaimanapun ketebalan selaput dara dapat ditembus oleh alat kawin suntik atau gun IB.
transfer embrioBioteknologi reproduksi generasi kedua yaitu transfer embrio (TE) adalah upaya memberdayakan potensi genetis superior sapi betina, yaitu sebagai donor benih berupa oosit, ova dan embrio (setelah melalui fertilisasi secara in vivo maupun in vitro). Dalam TE juga terjadi peningkatan efisiensi reproduksi, karena dalam satu siklus birahi dapat dihasilkan lebih banyak benih dibanding hanya satu benih saja secara alami dalam setiap siklus birahi. Demikian pula prasyarat seleksi bebas penyakit reproduksi juga berlaku bagi sapi betina donor untuk menghindari penyebaran penyakit infeksi saluran reproduksi
Sebagaima pada IB mempunyai prestasi dalam mengatasi kelainan reproduksi yang tidak menular, maka TE juga mempunyai prestasi yang serupa yaitu mengatasi kemajiran akibat kelahiran kembar free martin. Pada jaman dahulu kelahiran kembar non identik jantan dan betina atau free martin ini didiagnosa akan terjadi kemajiran pada pedet betina, akibat dominasi hormonal jantan pada masa prenatal. Kemajiran free martin karena terjadinya kebuntingan pada salah satu kornua uteri, sehingga terjadi anastomose pembuluh darah plasenta pedet jantan maupun betina yang mengakibatkan tercampurnya aliran darah plasenta yang memasok nutrisi dan hormon reproduksi. Dalam penerapan TE maka kemungkinan terjadinya kemajiran akibat kelahiran kembar free martin dapat dikurangi, dengan menempatkan embrio pada kedua belah fihak (ipsilateral dan kontra lateral corpus luteum) kornua uteri kiri dan kanan dalam program kelahiran kembar. Sehingga secara fisik pertumbuhan embrio dan plasenta kedua-duanya terpisah jauh yang tidak memungkinkan terjadinya anastomose pembuluh darah.
Di lain fihak embrio dapat dirancang yang tidak mempunyai kekerabatan genetis (berbeda bangsa dan jenis), misalnya embrio sapi perah dan sapi potong atau dua benih embrio sapi potong yang beda bangsa. Diharapkan dengan beda kekerabatan genetis, tidak terjadi afinitas anastomose pembuluh darah plasenta.
Dalam program kelahiran kembar meskipun ada kemungkinan terjadi transmigrasi benih embrio yang telah ditempatkan terpisah antar kornua, sehingga menyatu kembali di salah satu kornua yang berakibat terjadinya kembar freemartin. Atau program kelahiran kembar lebih dari dua ekor yang tentunya salah satu kornua uteri mengandung lebih dari satu janin. Baca lagi meningkatkan efisiensi reproduksi melalui kelahiran pedet kembar. Namun kejadian freemartin tidak perlu ditakuti karena bagaimanapun juga sapi tetap mempunyai nilai ekonomis meskipun majir, yaitu untuk digemukkan sebagai sapi pedaging atau sapi potong. ( arifin.basyir@yahoo.comAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya )
image source: answers.com & bairnsley.com
MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODKSI MELALUI KELAHIRAN PEDET KEMBAR
Sebagaimana diketahui bahwa alam telah menciptakan berbagai spesies hewan dengan spesifikasi dan karakteristik yang tidak sama. Pada sapi mempunyai uterus yang dikenal dengan tipe bikornua. Pada kornua uterus inilah terjadinya proses kebuntingan. Karena sapi lebih sering dikenal dengan sebutan beranak tunggal, maka hanya satu kornua uterus saja yang selama ini melayani kebuntingan. Pada kebuntingan kembar alami umumnya juga terjadi didalam salah satu kornua uterus. Sehingga kornua uterus yang sebelah menganggur selama masa kebuntingan. Kornua uterus inilah perlu diberdayakan juga untuk menampung kebuntingan, sehingga diperoleh kebuntingan kembar, bahkan kembar lebih dari dua ekor.
Salah satu tujuan pemberdayaan dan penerapan bioteknologi reproduksi antara lain adalah memperoleh efisiensi dan efektifitas siklus reproduksi yaitu menghasilkan keturunan. Sebagai indikator keberhasilan budidaya peternakan adalah perkembang biakan yang identik dengan produktivitas, terutama pada budidaya ternak yang memang bertujuan untuk breeding. Lebih rinci lagi tepatnya adalah terpenuhinya calving interval yang ideal atau rata-rata setiap tahun dapat menghasilkan anak keturunan.
Calving internal sapi perah 365-390 hari dan sapi potong 420-450 hari. Selama ini secara alami sebagian besar sapi melahirkan hanya satu ekor pedet. Kejadian kelahiran kembar alami masih sangat rendah. Hal inilah yang perlu mendapat perhatian oleh para peneliti dan praktisi.
Melalui pemberdayaan biteknologi reproduksi, seekor sapi betina dapat diatur agar mampu bunting dan melahirkan pedet kembar untuk mempercepat peningkatan populasi. Menurut Echterkamp (1992) kapasitas uterus dapat ditingkatkan mengandung tiga fetus per kornua uterus, bahkan lebih. Sedang menurut Seike, dkk (1989) dapat menghasilkan 143,3% kelahiran pedet, dibanding jumlah induk yang mengandung pada induksi kebuntingan kembar. Kebuntingan kembar selama ini adalah kembar dua yang diposisikan di masing-masing kornua uterus kanan dan kiri.
Dalam kebuntingan kembar dua secara alami atau tidak diprogram umumnya terjadi dalam salah satu kornua uteri yang ipsilateral dengan keberadaan corpus luteum (CL). Namun dalam membuat kebuntingan kembar dua (terprogram dengan transfer embrio) sebaiknya dilakukan dengan cara penempatan bikornua atau masing-masing kontra lateral dan ipsilateral terhadap CL. Selain menghindari kemungkinan terjadinya kembar free martin, program kembar dua cara ini lebih efektif keberhasilannya (Hart Elock, et al.1990).
Secara teoritis kebuntingan ipsilateral maupun kontra lateral terhadap CL tidak berpengaruh secara nyata, asal fungsional CL gravidarum prima dalam menghasilkan hormon progesteron untuk memelihara kebuntingan. Kebuntingan kembar membutuhkan CL gravidarum fungsional sekurang-kurangnya sejumlah fetus kembar itu untuk menjaga stabilitas uterus dalam memelihara kehidupan intra uterin (Knickerbocker, 1986 dan Hafez, 1993). Karena itu dalam setiap program kebuntingan kembar hendaknya dipersiapkan dengan pembentukan CL lebih dari satu melalui cara superovulasi dosis ringan dengan hormon gonadotropin.
Dua fetus per kornua uterus memang suatu angka yang fantastis, apalagi tiga fetus. Berarti seekor sapi betina dapat diprogran bunting kembar antara 2-6 fetus selama masa kebuntingan. Kapasitas dan kemampuan salah satu kornua uterus dalam menampung kebuntingan kembar tentu sangat terbatas. Disadari atau tidak bahwa selama ini belum ada hipotesa apalagi penelitian (?) yang mengurai fungsi lain cavum uterus yang nota bene lebih luas daripada lumen kornua uterus.
Fungsi cavum uterus atau tepatnya bagian endometrium yang dikenal selama ini adalah menghasilkan hormon prostaglandin (PGF2α) sebagai faktor luteolitik terhadap fungsional CL periodicum dalam rangkaian siklus birahi. Fungsi lain cavum uterus hanya sebagai jalan melintasnya sel spermatozoa dari vagina (proses kawin alam) atau dari servik uterus (proses IB) menuju ke tuba falopii untuk bertemu dengan sel telur dalam proses fertilisasi. Selain itu juga cavum uterus hanya sebagai jalan lintasan keluarnya fetus pada proses kelahiran
Karena tidak memungkinkan seberapapun elastisitas kornua uterus dalam menampung perkembangan kebuntingan kembar, apalagi sampai tiga fetus per kornua uterus. Maka cavum uterus yang relatif lebih luas daripada lumen kornua uterus patut dapat diduga atau merupakan suatu hipotesa sebagai penampung perkembangan fetus dan perluasan selaput fetus (plasenta) dalam kebuntingan kembar. Mengingat luasnya cavum uterus dan daya elastisnya, bukan tidak mungkin pada suatu ketika nanti seekor sapi induk betina dapat diprogram untuk bunting kembar 4-6 atau 2-3 fetus per kornua uteri.
Berbagai cara dapat ditempuh untuk menciptakan kebuntingan kembar, antara lain melalui cara IB. Dalam hal ini harus ada lebih dari satu sel telur setiap ovulasi, sehingga perlu ditempuh dengan induksi superovulasi dosis ringan agar tidak terlau banyak sel telur yang terbuang selain efisiensi nilai ekonomis harga hormon gonadotropin. Cara lain untuk membentuk kebuntingan kembar adalah dengan transfer embrio (TE), yaitu dengan menempatkan embrio dalam masing-masing kornua uterus. Atau kombinasi antara IB dan TE, yaitu pada waktu birahi dilakukan IB sebagaimana prosedur selama ini dikenal dan seminggu (6-8) hari kemudian dilakukan TE dengan posisi kontra lateral dengan keberadaan CL. Posisi ipsilateral dengan CL sudah ditempati oleh fetus hasil dari IB.
Variasi dalam program kelahiran pedet kembar juga memungkinkan untuk penerapan kombinasi antara kelahiran sapi perah dan atau sapi potong sesuai dengan kebutuhan. Di lain fihak juga memungkinkan penerapan jenis preservasi embrio, misalnya embrio beku dan embrio segar. Juga asal muasal pembuatan embrio antara embrio invivo dan atau embrio invitro
Salah satu tujuan pemberdayaan dan penerapan bioteknologi reproduksi antara lain adalah memperoleh efisiensi dan efektifitas siklus reproduksi yaitu menghasilkan keturunan. Sebagai indikator keberhasilan budidaya peternakan adalah perkembang biakan yang identik dengan produktivitas, terutama pada budidaya ternak yang memang bertujuan untuk breeding. Lebih rinci lagi tepatnya adalah terpenuhinya calving interval yang ideal atau rata-rata setiap tahun dapat menghasilkan anak keturunan.
Calving internal sapi perah 365-390 hari dan sapi potong 420-450 hari. Selama ini secara alami sebagian besar sapi melahirkan hanya satu ekor pedet. Kejadian kelahiran kembar alami masih sangat rendah. Hal inilah yang perlu mendapat perhatian oleh para peneliti dan praktisi.
Melalui pemberdayaan biteknologi reproduksi, seekor sapi betina dapat diatur agar mampu bunting dan melahirkan pedet kembar untuk mempercepat peningkatan populasi. Menurut Echterkamp (1992) kapasitas uterus dapat ditingkatkan mengandung tiga fetus per kornua uterus, bahkan lebih. Sedang menurut Seike, dkk (1989) dapat menghasilkan 143,3% kelahiran pedet, dibanding jumlah induk yang mengandung pada induksi kebuntingan kembar. Kebuntingan kembar selama ini adalah kembar dua yang diposisikan di masing-masing kornua uterus kanan dan kiri.
Dalam kebuntingan kembar dua secara alami atau tidak diprogram umumnya terjadi dalam salah satu kornua uteri yang ipsilateral dengan keberadaan corpus luteum (CL). Namun dalam membuat kebuntingan kembar dua (terprogram dengan transfer embrio) sebaiknya dilakukan dengan cara penempatan bikornua atau masing-masing kontra lateral dan ipsilateral terhadap CL. Selain menghindari kemungkinan terjadinya kembar free martin, program kembar dua cara ini lebih efektif keberhasilannya (Hart Elock, et al.1990).
Secara teoritis kebuntingan ipsilateral maupun kontra lateral terhadap CL tidak berpengaruh secara nyata, asal fungsional CL gravidarum prima dalam menghasilkan hormon progesteron untuk memelihara kebuntingan. Kebuntingan kembar membutuhkan CL gravidarum fungsional sekurang-kurangnya sejumlah fetus kembar itu untuk menjaga stabilitas uterus dalam memelihara kehidupan intra uterin (Knickerbocker, 1986 dan Hafez, 1993). Karena itu dalam setiap program kebuntingan kembar hendaknya dipersiapkan dengan pembentukan CL lebih dari satu melalui cara superovulasi dosis ringan dengan hormon gonadotropin.
Dua fetus per kornua uterus memang suatu angka yang fantastis, apalagi tiga fetus. Berarti seekor sapi betina dapat diprogran bunting kembar antara 2-6 fetus selama masa kebuntingan. Kapasitas dan kemampuan salah satu kornua uterus dalam menampung kebuntingan kembar tentu sangat terbatas. Disadari atau tidak bahwa selama ini belum ada hipotesa apalagi penelitian (?) yang mengurai fungsi lain cavum uterus yang nota bene lebih luas daripada lumen kornua uterus.
Fungsi cavum uterus atau tepatnya bagian endometrium yang dikenal selama ini adalah menghasilkan hormon prostaglandin (PGF2α) sebagai faktor luteolitik terhadap fungsional CL periodicum dalam rangkaian siklus birahi. Fungsi lain cavum uterus hanya sebagai jalan melintasnya sel spermatozoa dari vagina (proses kawin alam) atau dari servik uterus (proses IB) menuju ke tuba falopii untuk bertemu dengan sel telur dalam proses fertilisasi. Selain itu juga cavum uterus hanya sebagai jalan lintasan keluarnya fetus pada proses kelahiran
Karena tidak memungkinkan seberapapun elastisitas kornua uterus dalam menampung perkembangan kebuntingan kembar, apalagi sampai tiga fetus per kornua uterus. Maka cavum uterus yang relatif lebih luas daripada lumen kornua uterus patut dapat diduga atau merupakan suatu hipotesa sebagai penampung perkembangan fetus dan perluasan selaput fetus (plasenta) dalam kebuntingan kembar. Mengingat luasnya cavum uterus dan daya elastisnya, bukan tidak mungkin pada suatu ketika nanti seekor sapi induk betina dapat diprogram untuk bunting kembar 4-6 atau 2-3 fetus per kornua uteri.
Berbagai cara dapat ditempuh untuk menciptakan kebuntingan kembar, antara lain melalui cara IB. Dalam hal ini harus ada lebih dari satu sel telur setiap ovulasi, sehingga perlu ditempuh dengan induksi superovulasi dosis ringan agar tidak terlau banyak sel telur yang terbuang selain efisiensi nilai ekonomis harga hormon gonadotropin. Cara lain untuk membentuk kebuntingan kembar adalah dengan transfer embrio (TE), yaitu dengan menempatkan embrio dalam masing-masing kornua uterus. Atau kombinasi antara IB dan TE, yaitu pada waktu birahi dilakukan IB sebagaimana prosedur selama ini dikenal dan seminggu (6-8) hari kemudian dilakukan TE dengan posisi kontra lateral dengan keberadaan CL. Posisi ipsilateral dengan CL sudah ditempati oleh fetus hasil dari IB.
Variasi dalam program kelahiran pedet kembar juga memungkinkan untuk penerapan kombinasi antara kelahiran sapi perah dan atau sapi potong sesuai dengan kebutuhan. Di lain fihak juga memungkinkan penerapan jenis preservasi embrio, misalnya embrio beku dan embrio segar. Juga asal muasal pembuatan embrio antara embrio invivo dan atau embrio invitro
fertilisasi in vitro
Ditulis Oleh drh. M. Arifin Basyir
Selasa, 19 Januari 2010
Sebagaimana produksi embrio in vivo yang mengenal atau terkendala dengan angka harapan perolehan non predictable, maka dalam produksi embrio spliting dan fertilisasi in vitro (FIV) juga dikenal prinsip yang sama. Pada prinsipnya kedua hal tersebut sangat bergantung pada profesionalisme yang proporsional dalam pelaksanaannya.
Sebagaimana disampaikan pada tulisan terdahulu bahwa pembelahan umumnya dilakukan pada fase embrional tertentu yaitu pada awal morula, morula dan kompak morula dengan bantuan mikroskop stereo pada pembesaran tertentu. Perubahan petumbuhan dari awal morula ke tahapan morula dan morula ke kompak morula diprakirakan umumnya masing-masing membutuhkan waktu rata-rata 24 jam. Hal ini selanjutnya dapat diartikan pula bahwa masa hidup masing-masing tahapan berlangsung selama 24 jam atau sebagai kesempatan melakukan spliting.
Dengan demikian kesempatan melakukan spliting secara keseluruhan menjadi 3 X 24 jam untuk tahapan awal morula, morula dan kompak morula tersebut. Setiap kali perlakuan spliting, masing-masing hasil belahan embrio yang diperoleh dibiakkan (inkubasi) dalam media dan suhu tertentu selama 2-4 jam untuk mengetahui kehidupannya dengan memperhatikan tingkat tumbuh-kembang sel-sel blastomernya. Masing-masing embrio belahan yang hidup harus bertumbuh kembang menjadi embrio yang utuh seperti sedia kala sebelum dibelah. Setelah masing-masing belahan embrio ini bertumbuh kembang menjadi utuh, diperlakukan lagi yaitu dilakukan pembelahan dan inkubasi. Demikian seterusnya perlakuan pembelahan dan inkubasi dikerjakan sampai habis waktu 3 X 24 jam.
Embrio-embrio yang bertahan hidup masih dapat diinkubasikan ketahapan berikutnya, yaitu awal blastosis, blastosis dan expand blastosis sebelum akhirnya ditransfer kepada sapi risipien yang telah terseleksi dan atau bila terpaksa perlu dibekukan untuk sementara waktu menunggu resipien yang ideal. Bioteknologi reproduksi yang high tech ini selain membutuhkan profesionalisme yang proporsional juga sangat membutuhlan tingkat keahlian berikut ketrampilan yang sangat tinggi. Selain itu karena pengerjaan harus dilakukan terus menerus berkesinambungan dalam waktu 3 X 24 jam, maka diperlukan pengaturan jam kerja dengan model shift melalui 3-4 kali pergantian setiap 24 jam.
Di lain pihak harus diperhitungkan penambahan tenaga kerja, karena jumlah embrio semakin banyak sebagai konsekuensi logis dari keberhasilan pembelahan spliting. Kalau mengacu pada identifikasi tumbuh kembang sel blastomer setiap 2-4 jam atau rata-rata 3 jam, maka dalam waktu 3 X 24 jam akan diperoleh kesempatan melakukan pembelahan spliting sebanyak : 3(24jam/3jam) = 24 kali. Berawal dari satu embrio dibelah menjadi 2; 2 menjadi 4; 4 menjadi 8; 8 menjadi 16, dst.
Maka dengan perhitungan deret ukur dalam 24 kali kesempatan akan diperoleh keberhasilan angka harapan perolehan produksi embrio spliting dan FIV sejumlah : 2 pangkat 24 (dua pangkat duapuluh empat) = 16.777.216 (enam belas juta tujuh ratus tujuh puluh tujuh ribu dua ratus enam belas) embrio.
Apakah akan berhasil sepenuhnya atau seberapa % tingkat keberhasilan itu sangat bergantung pada masing-masing individu SDM dengan mengacu pada prefesionalisme yang proporsional dan tingkat keahlian serta ketrampilannya. Katakanlah misalnya angka keberhasilan itu hanya 0,1%, maka angka harapan perolehan adalah 16.777 embrio. Suatu jumlah yang fantastis dan spektakuler dari satu embrio menjadi sejumlah itu. Dapat dibayangkan seandainya di masa mendatang nanti dapat berhasil mengembang biakkan sapi di tingkat sel embrio atau melalui suatu mekanisme yang lazim disebut kultur sel-jaringan, akan diperoleh angka efisiensi reproduksi yang sangat luar biasa. Bukan tidak mungkin akan merupakan pengembangan pola breeding sebagai suatu cabang usaha komersial sebagaimana peternakan pada umumnya. Boleh jadi merupakan suatu peternakan ‘makhluk halus’, makhluk halus dalam pengertian embriologi.
Penerapan bioteknologi reproduksi ini merupakan peluang, harapan dan tantangan yang harus dijawab secara konsekuen dan konsisten. Mengingat bahwa perkembangan dan manfaatnya di masa mendatang sedemikian menjanjikan, perlu kiranya dikelola secara baik dan benar serta profesional dan proporsional. Salah satu upaya yang mengarah itu perlu dipertimbangkan dikelola dalam satu wadah tersendiri suatu institusi atau instansi yang mencakup fungsi teknis berdasarkan ilmu terkait atau dalam kaitan disiplin ilmu yang termasuk didalamnya, antara lain embriologi, fisiologi reproduksi, endokrinologi, farmakologi, dsb .
Yaitu bioteknologi reproduksi insemenasi buatan (IB), transfer embrio (TE), pelestarian plasma nuftah, sumber materi genetika, dsb yang antara lain misalnya dalam wadah Balai Besar Pemberdayaan Bioteknologi Reproduksi dan Sumberdaya Genetika Hewan dan Ternak. Bisa jadi berada dalam naungan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan, karena menyangkut sumberdaya alam berupa hewan atau barangkali lingkup Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian atau institusi instansi tersendiri dalam liputan Menristek.
Selasa, 19 Januari 2010
Sebagaimana produksi embrio in vivo yang mengenal atau terkendala dengan angka harapan perolehan non predictable, maka dalam produksi embrio spliting dan fertilisasi in vitro (FIV) juga dikenal prinsip yang sama. Pada prinsipnya kedua hal tersebut sangat bergantung pada profesionalisme yang proporsional dalam pelaksanaannya.
Sebagaimana disampaikan pada tulisan terdahulu bahwa pembelahan umumnya dilakukan pada fase embrional tertentu yaitu pada awal morula, morula dan kompak morula dengan bantuan mikroskop stereo pada pembesaran tertentu. Perubahan petumbuhan dari awal morula ke tahapan morula dan morula ke kompak morula diprakirakan umumnya masing-masing membutuhkan waktu rata-rata 24 jam. Hal ini selanjutnya dapat diartikan pula bahwa masa hidup masing-masing tahapan berlangsung selama 24 jam atau sebagai kesempatan melakukan spliting.
Dengan demikian kesempatan melakukan spliting secara keseluruhan menjadi 3 X 24 jam untuk tahapan awal morula, morula dan kompak morula tersebut. Setiap kali perlakuan spliting, masing-masing hasil belahan embrio yang diperoleh dibiakkan (inkubasi) dalam media dan suhu tertentu selama 2-4 jam untuk mengetahui kehidupannya dengan memperhatikan tingkat tumbuh-kembang sel-sel blastomernya. Masing-masing embrio belahan yang hidup harus bertumbuh kembang menjadi embrio yang utuh seperti sedia kala sebelum dibelah. Setelah masing-masing belahan embrio ini bertumbuh kembang menjadi utuh, diperlakukan lagi yaitu dilakukan pembelahan dan inkubasi. Demikian seterusnya perlakuan pembelahan dan inkubasi dikerjakan sampai habis waktu 3 X 24 jam.
Embrio-embrio yang bertahan hidup masih dapat diinkubasikan ketahapan berikutnya, yaitu awal blastosis, blastosis dan expand blastosis sebelum akhirnya ditransfer kepada sapi risipien yang telah terseleksi dan atau bila terpaksa perlu dibekukan untuk sementara waktu menunggu resipien yang ideal. Bioteknologi reproduksi yang high tech ini selain membutuhkan profesionalisme yang proporsional juga sangat membutuhlan tingkat keahlian berikut ketrampilan yang sangat tinggi. Selain itu karena pengerjaan harus dilakukan terus menerus berkesinambungan dalam waktu 3 X 24 jam, maka diperlukan pengaturan jam kerja dengan model shift melalui 3-4 kali pergantian setiap 24 jam.
Di lain pihak harus diperhitungkan penambahan tenaga kerja, karena jumlah embrio semakin banyak sebagai konsekuensi logis dari keberhasilan pembelahan spliting. Kalau mengacu pada identifikasi tumbuh kembang sel blastomer setiap 2-4 jam atau rata-rata 3 jam, maka dalam waktu 3 X 24 jam akan diperoleh kesempatan melakukan pembelahan spliting sebanyak : 3(24jam/3jam) = 24 kali. Berawal dari satu embrio dibelah menjadi 2; 2 menjadi 4; 4 menjadi 8; 8 menjadi 16, dst.
Maka dengan perhitungan deret ukur dalam 24 kali kesempatan akan diperoleh keberhasilan angka harapan perolehan produksi embrio spliting dan FIV sejumlah : 2 pangkat 24 (dua pangkat duapuluh empat) = 16.777.216 (enam belas juta tujuh ratus tujuh puluh tujuh ribu dua ratus enam belas) embrio.
Apakah akan berhasil sepenuhnya atau seberapa % tingkat keberhasilan itu sangat bergantung pada masing-masing individu SDM dengan mengacu pada prefesionalisme yang proporsional dan tingkat keahlian serta ketrampilannya. Katakanlah misalnya angka keberhasilan itu hanya 0,1%, maka angka harapan perolehan adalah 16.777 embrio. Suatu jumlah yang fantastis dan spektakuler dari satu embrio menjadi sejumlah itu. Dapat dibayangkan seandainya di masa mendatang nanti dapat berhasil mengembang biakkan sapi di tingkat sel embrio atau melalui suatu mekanisme yang lazim disebut kultur sel-jaringan, akan diperoleh angka efisiensi reproduksi yang sangat luar biasa. Bukan tidak mungkin akan merupakan pengembangan pola breeding sebagai suatu cabang usaha komersial sebagaimana peternakan pada umumnya. Boleh jadi merupakan suatu peternakan ‘makhluk halus’, makhluk halus dalam pengertian embriologi.
Penerapan bioteknologi reproduksi ini merupakan peluang, harapan dan tantangan yang harus dijawab secara konsekuen dan konsisten. Mengingat bahwa perkembangan dan manfaatnya di masa mendatang sedemikian menjanjikan, perlu kiranya dikelola secara baik dan benar serta profesional dan proporsional. Salah satu upaya yang mengarah itu perlu dipertimbangkan dikelola dalam satu wadah tersendiri suatu institusi atau instansi yang mencakup fungsi teknis berdasarkan ilmu terkait atau dalam kaitan disiplin ilmu yang termasuk didalamnya, antara lain embriologi, fisiologi reproduksi, endokrinologi, farmakologi, dsb .
Yaitu bioteknologi reproduksi insemenasi buatan (IB), transfer embrio (TE), pelestarian plasma nuftah, sumber materi genetika, dsb yang antara lain misalnya dalam wadah Balai Besar Pemberdayaan Bioteknologi Reproduksi dan Sumberdaya Genetika Hewan dan Ternak. Bisa jadi berada dalam naungan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan, karena menyangkut sumberdaya alam berupa hewan atau barangkali lingkup Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian atau institusi instansi tersendiri dalam liputan Menristek.
KEUNTUNGAN MENARIK NAFAS DALAM-DALAM
Menarik napas dalam-dalam adalah hal penting bagi kesehatan fisik maupun emosi. Tetapi, karena bernapas cenderung dianggap sebuah refleks menyebabkan aktivitas menghirup napas secara dalam sering dilupakan.
Mulai sekarang, luangkan waktu sejenak untuk menarik napas dalam-dalam hingga Anda merasa ada udara melewati hidung melalui perut hingga keluar lewat mulut. Ketahui manfaat lainnya dari menarik napas dalam-dalam, seperti dikutip dari Reader Digest.
Meredam stres
Bernapas secara dalam membantu mengurangi stres ketika Anda sedang merasa tertekan. Lewat cara ini tubuh akan mengirimkan sinyal untuk memperlambat reaksi di otak, sehingga ada perubahan hormonal dan faktor-faktor fisiologis lain. Efeknya adalah memperlambat denyut jantung serta menurunkan tekanan darah yang tinggi saat stres.
Menurunkan tekanan darah
Bernapas secara dalam merangsang munculnya oksida nitrat alami yang berfungsi membuat seseorang lebih tenang. Zat tersebut akan memasuki paru-paru bahkan pusat otak, sehingga tekanan darah yang dalam keadaan tinggi bisa menurun.
Memperlambat denyut jantung
Saat kondisi emosi meninggi dan detak jantung terasa cepat, tariklah napas dalam-dalam. Cara ini bisa sangat efektif menurunkan detak jantung saat kondisi Anda sedang stres. "Ambil napas dalam-dalam dengan benar, lakukanlah sebanyak tiga kali. Detak jantuk dan tekanan darah pun akan menurun," kata Dr. Abramson.
Menurunkan amarah
Ambil napas secara dalam ketika Anda mulai merasa emosi sedang meninggi. "Saat marah, tubuh akan merasa tertekan, dengan bernapas secara dalam bisa menurunkan emosi dan tekanan yang muncul," kata Robert Nicholson, Ph.D., asisten profesor dari Saint Louis University.
Mencegah makan berlebihan
Stres adalah salah satu pemicu utama nafsu makan. Agar tidak makan berlebihan ketika stres, Anda bisa mengatasinya dengan latihan pernapasan. Ketika nafsu makan muncul saat stres, ambil napas secara perlahan dan singkirkan makanan dari pikiran dan fokuslah untuk relaksasi.
Sumber :
kosmo.vivanews.com
Mulai sekarang, luangkan waktu sejenak untuk menarik napas dalam-dalam hingga Anda merasa ada udara melewati hidung melalui perut hingga keluar lewat mulut. Ketahui manfaat lainnya dari menarik napas dalam-dalam, seperti dikutip dari Reader Digest.
Meredam stres
Bernapas secara dalam membantu mengurangi stres ketika Anda sedang merasa tertekan. Lewat cara ini tubuh akan mengirimkan sinyal untuk memperlambat reaksi di otak, sehingga ada perubahan hormonal dan faktor-faktor fisiologis lain. Efeknya adalah memperlambat denyut jantung serta menurunkan tekanan darah yang tinggi saat stres.
Menurunkan tekanan darah
Bernapas secara dalam merangsang munculnya oksida nitrat alami yang berfungsi membuat seseorang lebih tenang. Zat tersebut akan memasuki paru-paru bahkan pusat otak, sehingga tekanan darah yang dalam keadaan tinggi bisa menurun.
Memperlambat denyut jantung
Saat kondisi emosi meninggi dan detak jantung terasa cepat, tariklah napas dalam-dalam. Cara ini bisa sangat efektif menurunkan detak jantung saat kondisi Anda sedang stres. "Ambil napas dalam-dalam dengan benar, lakukanlah sebanyak tiga kali. Detak jantuk dan tekanan darah pun akan menurun," kata Dr. Abramson.
Menurunkan amarah
Ambil napas secara dalam ketika Anda mulai merasa emosi sedang meninggi. "Saat marah, tubuh akan merasa tertekan, dengan bernapas secara dalam bisa menurunkan emosi dan tekanan yang muncul," kata Robert Nicholson, Ph.D., asisten profesor dari Saint Louis University.
Mencegah makan berlebihan
Stres adalah salah satu pemicu utama nafsu makan. Agar tidak makan berlebihan ketika stres, Anda bisa mengatasinya dengan latihan pernapasan. Ketika nafsu makan muncul saat stres, ambil napas secara perlahan dan singkirkan makanan dari pikiran dan fokuslah untuk relaksasi.
Sumber :
kosmo.vivanews.com
BUKU TERMAHAL DIDUNIA
Sebuah buku tebal bersegel dengan judul "The Onliest and The Deepest Secrets of The Medical Art" adalah barang unik, langka dan mahal di dunia. Dalam buku ini hanya berisikan sebuah kalimat sederhana. Namun berharga US$ 20.000.
Elementa Chemiae
Buku ini adalah karya terakhir dari Boerhaave, seorang dokter Belanda yang menulis buku "Elementa Chemiae" dan meninggal tahun 1738. Sebelum wafat ia meninggalkan sebuah buku tebal bersegel dengan judul "The Onliest and The Deepest Secrets of The Medical Art" yang artinya kurang lebih "Rahasia paling mendalam dan satu-satunya dalam seni pengobatan".
Saat buku itu dilelang, terjual dengan harga US$ 20.000. Tapi ternyata,setelah segel buku dibuka, pemenang lelang itu menemukan 99 dari 100 halaman buku itu kosong tidak ada tulisan sama sekali.
Selain sampul depan, deretan huruf yang membentuk sebaris tulisan pendek di satu halamannya, dalam arti bahas Indonesia bebas berbunyi,
"Jaga diri untuk tetap tenang, jaga kaki agar tetap hangat, dan kamu akan membuat dokter terbaik sekalipun menjadi miskin."
Sumber :
www.kaskus.us
Elementa Chemiae
Buku ini adalah karya terakhir dari Boerhaave, seorang dokter Belanda yang menulis buku "Elementa Chemiae" dan meninggal tahun 1738. Sebelum wafat ia meninggalkan sebuah buku tebal bersegel dengan judul "The Onliest and The Deepest Secrets of The Medical Art" yang artinya kurang lebih "Rahasia paling mendalam dan satu-satunya dalam seni pengobatan".
Saat buku itu dilelang, terjual dengan harga US$ 20.000. Tapi ternyata,setelah segel buku dibuka, pemenang lelang itu menemukan 99 dari 100 halaman buku itu kosong tidak ada tulisan sama sekali.
Selain sampul depan, deretan huruf yang membentuk sebaris tulisan pendek di satu halamannya, dalam arti bahas Indonesia bebas berbunyi,
"Jaga diri untuk tetap tenang, jaga kaki agar tetap hangat, dan kamu akan membuat dokter terbaik sekalipun menjadi miskin."
Sumber :
www.kaskus.us
MAKALAH SEMINAR
Judul Seminar : Biologi, Patogenesa dan Terapi Skabies pada Anjing
Penyaji / NRP : Fitri Juliyanti Siregar / B04101042
Pembimbing : Dr. Drh. Ahmad Arief Amin
Drh. R.P Agus Lelana SpMP, MSi.
Hari / Tanggal : Rabu / 02 Agustus 2006
Waktu : 09.00 – 10.00 WIB
ABSTRAK
Studi literatur ini bertujuan untuk mengkaji biologi, patogenesa dan terapi skabies pada anjing dengan mengambil bahan dan informasi dari buku, skripsi, jurnal, artikel dan wawancara langsung dengan dokter hewan praktek yang menangani kasus skabies pada anjing. Studi ini mempunyai dua permasalahan dasar yaitu (1) kasus skabies sebagai penyakit hewan strategis yang masih menjadi masalah dalam program hewan sehat di indonesia , (2) pengetahuan mengenai biologi, patogenesa dan terapi skabies pada anjing masih terus mangalami kemajuan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran hewan dan pengobatannya. Berdasarkan informasi yang kita pelajari bahwa biologi, dan patogenesa skabies memiliki perbedaan antar spesis anjing. Collie atau Australian Shepherd sangat sensitif terhadap ivermektin sebagai obat pilihan kasus skabies. Oleh karena itu kita harus hati hati.
ABSTRACT
The aim this literature study is to study the biology, pathogenesis and therapy of scabies in dog based on review of textbook, skripsi, journal, article and direct interview with veterinary practice who intensively handle the scabies cases. These study yieled two fundamental informations, namely (1) scabies cases as strategic animal disease is still problem for establishment of animal health program in Indonesia, (2) the knowledge of biology, pathogenesis and therapy of scabies in dog is still progress following the development of veterinary science and medicine. Based on this informations we learn that the biology, and pathogenesis of scabies is varies among dogs species. Collie or Australian Shepherd have very sensitive to ivermectin of drug choice of scabies. Therefore we need to be carefull.
PENDAHULUAN
Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi tungau Sarcoptes scabiei, biasanya menyerang daerah yang sedikit ditumbuhi bulu, seperti sekitar kepala, mata, telinga, siku, pada daerah perut bagian ventral dan lipatan paha. Apabila anjing telah positif skabies, perlu dilakukan pengobatan yang langsung membunuh tungau (mitecidal) secara topikal atau sistemik. Sampai saat ini penyakit skabies sebagai penyakit strategis masih belum dapat diatasi dengan baik terbukti masih banyaknya kasus-kasus skabies yang dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam biologi, patogenesa dan terapi skabies pada anjing dan mengetahui tingkat keparahan penyakit setiap ras anjing berdasarkan gejala klinisnya.
MATERI DAN METODE
Tempat dan waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data di praktek Drh. Koesharyono, Jl. Wijaya Kusuma I/26 Pasar Minggu Jakarta, Balai Kesehatan Hewan Departemen Pertanian RI Jakarta, Perpustakaan Balai Veteriner Cimanggu Bogor, Perpustakaan LSI IPB, Perpustakaan Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan internet. Penelitian ini berlangsung dari bulan April sampai Juli 2006.
Bahan dan Metode
Studi literatur untuk mengumpulkan informasi penyakit skabies pada anjing dari berbagai literatur, skripsi, jurnal, majalah, internet dan wawancara dengan dokter hewan praktek. Literatur berupa buku-buku parasit antara lain Jubb KVC dengan judul buku ”Pathology of Domestic Animals” dan Kelly JD dengan bukunya yang berjudul “Canine Parasitology”. Bahan dari internet dicari dengan metode pencarian informasi melalui Google. Metode wawancara dengan kunjungan ke praktek dokter hewan yang menangani kasus skabies. Data skabies diambil dari catatan harian dokter hewan praktek tersebut yaitu yang tercatat periode Oktober 2005 – Juni 2006. Waktu wawancara yang dilakukan pada tanggal 19 juni 2006.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 Perkembangan penemuan morfologi tungau Sarcoptes scabiei var. canis :
Thn Penemu Morfologi tungau Sarcoptes scabiei var. Canis
1965 Belding Bentuk tubuh tungau lonjong dengan bagian perut rata, translusen dan berwarna putih kotor.
1973 Flynn Tungau jantan dewasa memiliki ukuran 170-200 μm, dan tungau betina dewasa memiliki ukuran 200-240 μm. Pada tungau betina ditemukannya bagian tubuh yang disebut dengan setae, plastron, anus yang terletak di daerah terminal, bentuk celah longitudinal dan lubang genital yang sederhana, palpi, chelate chelacerae, ambulacra dan alat genital seperti lonceng.
1976 Muller & Kirk Tungau memiliki diameter 200-400 μm, tungau tidak memiliki mata dan organ respirasi.
1977 Kelly Diameter tungau berukuran 200-450μm.
1982 Soulsby Tungau jantan dewasa memiliki ukuran 200-240 x 150-250 μm dan tungau betina dewasa memiliki ukuran 300-500 x 240-400 μm. Ukuran nimfa antara 220-195 μm.
1984 Kettle Ditemukannya bagian-bagian yang disebut nototoraks, notogaster, plastron, epimeres, epiandrum, sucker atau alat hisap, ambulacra, bulu cambuk, kalisera, kapitulum, hipostom dan lubang kelamin berbentuk Y.
1993 Griffin Panjang tungau antara 0,2-0,4 mm, tungau jantan lebih kecil dari tungau betina.
1994 Ackerman Panjang tungau antara 0,2-0,4 mm, tungau jantan lebih kecil dari tungau betina.
1995
Muller & Kirk’s Panjang tungau antara 0,2-0,4 mm, tungau jantan lebih kecil dari tungau betina.
2002 Scott W Ukuran tungau berkisar antara 0,2-0,4 mm. Biasanya ukuran tungau jantan lebih kecil dibanding tungau betina.
2006 T.S.AU Panjang tungau betina dewasa 0,4 mm, sedangkan panjang tungau jantan dewasa 0,2 mm. Memiliki kaki-kaki yang pendek, kaki ketiga dan keempat tidak keluar melewati badan tungau.
2006 Oliver Chosidow Translusent dengan kaki-kaki coklatnya, panjang tungau 0,2-0,5 mm
Tabel 1 menunjukkan perkembangan morfologi tungau Sarcoptes scabiei seiring dengan perkembangan teknologi. Hingga saat ini bentuk dan ukuran tungau Sarcoptes scabiei var. Canis yaitu bentuk tubuh yang lonjong, punggung cembung, perut datar dan tembus cahaya (Belding 1965). Penelitian terbaru tungau Sarcoptes scabiei var. Canis oleh Oliver Chosidow (2006), Sarcoptes scabiei berukuran 0,2-0,5 mm dengan kaki-kaki coklatnya. Tidak menunjukkan perbedaan yang nyata jika ditinjau dari morfologi semenjak ditemukannya sampai tahun 2006.
Tabel 2 Patogenesa tungau Sarcoptes scabiei var. Canis
Thn Penemu Patogenesa tungau Sarcoptes scabiei var. Canis
1965 Greg Infeksi tungau Sarcoptes scabiei terutama sekali pada anjing-anjing muda dan pada ras-ras anjing berbulu pendek.
1973 Flynn Infeksi tungau Sarcoptes scabiei terutama pada anjing-anjing muda dan pada ras-ras anjing berbulu pendek.
1975 Brown Lesi awal biasanya ditemukan pada daerah yang sedikit ditumbuhi bulu, seperti sekitar kepala, mata, telinga dan siku, pada daerah perut bagian ventral dan lipatan paha
1976 Muller & Kirk’s Tungau Sarcoptes scabiei dapat menembus kulit manusia, tetapi kemudian kembali setelah beberapa jam, meninggalkan inang yang bukan definitif.
1977 Kelly Tungau menembus lapisan korneum epidermis kulit, menghisap cairan limfe dan juga memakan sel-sel epitel.
1982 Soulsby Tungau menembus lapisan korneum epidermis kulit, menghisap cairan limfe dan juga memakan sel-sel epitel
1984 Arlian et al. Sarcoptes scabiei var. Canis dapat bertahan hidup selama 9 hari pada suhu antara 15-25 0C dan kelembaban relaif (RH) antara 25-85 %.
1986 Grant Skabies merupakan penyakit yang sangat menular.
1987 Urguhart Lesi awal biasanya ditemukan pada daerah yang sedikit ditumbuhi bulu, seperti sekitar kepala, mata, telinga dan siku, pada daerah perut bagian ventral dan lipatan paha.
1995 Jubb et al. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau kontak tidak langsung dengan berbagi objek.
1996 Witjaksono
dan Sungkar Tungau lebih menyukai hidup pada hewan yang memiliki bulu panjang, tebal dan kotor.
1997 Nahm & Corwin Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau secara tidak langsung melalui objek perantara.
1999 Dan Tungau lebih menyukai hidup pada hewan yang memiliki bulu panjang, tebal dan kotor.
2002 Soeharsono Penularan dari hewan ke manusia terjadi melalui kontak lansung (karena kedekatan).
2005 Abu Samra et al. Sarcoptes scabiei var. Canis pada anjing, juga dapat menginfestasi hewan mamalia lain seperti kucing, babi, rubah, dan kelinci.
2006 Wendy C Sarcoptes saciei var. Canis dapat menginfeksi manusia, walaupun hanya sebagai inang sementara.
Tabel 2 menjelaskan tentang patogenesa tungau Sarcoptes scabiei var. Canis. Greg (1965) dan Flynn (1973) menyatakan bahwa infeksi tungau Sarcoptes scabiei var. Canis terutama sekali pada anjing-anjing muda dan pada ras-ras berbulu pendek. Pada anjing, kemungkinan untuk terinfeksi oleh tungau Sarcoptes scabiei var. Canis bisa terjadi tanpa membedakan bentuk, umur, jenis kelamin atau jenis ras. Tungau Sarcoptes scabiei var. Canis menembus lapisan korneum epidermis kulit, dengan cara menghisap cairan limfe dan juga memakan sel-sel epitel (Kelly 1977 dan Soulsby 1982). Tungau Sarcoptes scabiei var. Canis melakukan perkawinan di permukaan kulit dan meletakkan telur-telurnya di dalam terowongan yang dibuat sendiri oleh tungau Sarcoptes scabiei var. Canis. Setelah melakukan perkawinan, tungau jantan akan mati, sedangkan tungau betina bunting terus menggali terowongan dikulit. Perkembangan tungau dari menetasnya telur dalam terowongan yang kemudian menjadi larva, nimfa dan tungau dewasa membutuhkan 17-21 hari.
Tabel 3 Gejala klinis yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var. canis
Thn Penemu Gejala klinis Sarcoptes scabiei var. Canis
1971 Soulsby Terbentuknya papula merah atau vesikel dan keluarnya eksudat bening.
1973 Flynn Secara hispatologi, bentuk skabies ditandai dengan adanya fokal hiperteratosis, epiderma hiperplasia (kulit tebal).
1976 Muller & Kirk’s Pruritus yang nyata menyebaban adanya kerusakan pada kulit. Sarang-sarang tungau terbuka oleh trauma.
1982 Soulsby Berdasarkan bentuk dan lokasi tubuh yang mengalami kerusakan, skabies dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu, lesi awal (bentuk primer) dan bentuk sekunder (bentuk umum).
1984 Kettle Adanya reaksi hipersensitifitas akut dan reaksi yang kronis.
1986 Grant Gejala khas yang sering muncul adalah hewan terlihat seringkali menggaruk dan disertai dengan penurunan nafsu makan.
1987 Urguhart Area yang sering pertama kali diserang skabies adalah pada ujung telinga.
1993 Jubb el al Pada hewan yang kekurangan gizi atau yang mempunya daya tahan lemah, lesio ditandai dengan adanya alopesia, lichenifikasi (kulit seperti lumut), perlemakan, penebalan kulit yang bersisik dan berwarna kelabu.
Thn Penemu Gejala klinis Sarcoptes scabiei var. Canis
1999 Dan Infeksi dari tungau ini ditandai dengan gejala klinis seperti gatal yang terus menerus, kerontokan bulu, dan kerusakan pada kulit.
2000 Bodewes et al Bentuk-bentuk lesi yang terjadi bisa berupa alopesia, eritema dan pyoderma.
2002 Soeharsono lesi pada kulit diawali dengan timbulnya papula kecil berwarna merah, kemudian menjadi erythema yang bersifat meluas.
2005 Acha PN Gejala klinis Scabies ditandai dengan adanya pruritus berkelanjutan, menyebabkan kerontokan bulu. Bisa menyebabkan erytema, ulcers, kulit hemorragi.
Tabel 3 menggambarkan gejala klinis yang ditimbulkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var. Canis. Tahun 1971, Soulsby menyatakan terbentuknya papula merah atau vesikel dan keluarnya eksudat bening dari lesi bekas terinfeksi tungau tersebut. Dan (1999) gejala umum yang biasa ditemukan pada kasus skabies pada anjing ini yaitu infeksi tungau ditandai dengan gejala klinis seperti gatal yang terus-menerus, yang dilanjutkan dengan kerontokan bulu dan berakibat kerusakan pada kulit.
Tabel 4 tingkat keparahan penyakit skabies berdasarkan gejala klinisnya.
Gejala klinis Ch Pm GS CS GR La Cl Po P SH Do
Pruritus +++ +++ ++ ++ +++ +++ +++ +++ ++ +++ +++
Eritema ++ ++ + ++ ++ ++ ++ ++ +++ +++ ++
Papula ++ ++ + ++ ++ ++ ++ ++ +++ ++ ++
Makula ++ ++ + ++ ++ ++ ++ ++ +++ +++ ++
Ekskorasi + ++ + + + ++ + + ++ ++ +
Folikulitis ++ ++ + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ +-
Alopecia +++ +++ + +++ ++ +++ +++ ++ +++ +++ +
Pengerasan kulit ++ +++ + + ++ ++ + ++ +++ ++ +
Hyperpigmentasi ++ +++ + + ++ ++ +- + ++ ++ +
Otitis eksterna - - + ++ - - - - - - +
Lichenifikasi + ++ +- + +- + + + + + +
Seborrhea - - - - - - ++ - - - +
Keterangan :
+++ = sangat parah CS = Cocher Spanial
++ = parah GR = Germand Retriver
+ = sedang La = Labrador
+/- = ringan Cl = Collie
- = tidak terinfeksi Po = Poodle
Ch = Chow-chow P = Pug
Pm = Pomeraanian SH = Siberian Husky
GS = Germand Shepherd Do = Doberman
Menurut Abdul Latif (2001) data yang diperoleh dari Rumah Sakit Hewan Jakarta periode Januari 1999 – Juli 2000 terdapat 70 (0,57 %) kasus skabies dari 12362 ekor total jumlah pasien. Jumlah ini terdiri atas 17 ras anjing dengan umur berkisar antara 2 bulan hingga 13 tahun. Berdasarkan tabel 4 pruritus yang terjadi pada setiap ras menunjukkan keparahan yang sangat kecuali pada ras Germand Shepherd, Cocker Spanial dan Pug dengan pruritus cukup parah. Eritema, papula dan makula yang terjadi sebagai akibat dari pruritus berkelanjutan menunjukkan keparahan yang sangat pada ras Pug dan Siberian Husky, sementara ras lainnya hanya kondisi yang cukup parah. Ekskorasi yang parah terlihat pada ras Pomeranian, Labrador, Pug dan Siberian Husky, sementara ras lainnya hanya terjadi ekskorasi yang sedang saja. Pada umumnya folikulitis terjadi pada setiap ras, dengan kondisi yang cukup parah, kecuali pada ras Germand Shepherd yang hanya terjadi folikulitis sedang dan pada ras Doberman derajat folikulitis ringan. Alopesia yang terjadi sangat parah pada kebanyakan ras, hanya ras Germand Retriver, poodle yang derajat alopesianya cukup parah, sedangkan ras Germand shepherd dan doberman pada derajat sedang. Pengerasan kulit yang sangat parah hanya terjadi pada ras Pomeranian dan Pug, sementara ras Chow-chow, Germand Retriver, Labrador, poodle, dan Siberian husky menunjukkan pengerasan kulit yang parah. Dan di kondisi sedang ada ras German Shepherd, Cocker Spanial, dan Collie. Hyperpigmentasi yang sangat parah hanya terjadi pada ras Pomeranian, Chow-chow, Germand Retriver, Labrador, Pug dan Siberian Husky menunjukkan hyperpigmentasi yang cukup parah. Pada kondisi ringan dari hyperpigmentasi adalah ras Germand Shepherd, Cocker Spanial, Poodle dan Doberman. Sementara Collie hanya menunjukkan kondisi hyperpygmentasi yang ringan. Otitis eksterna yang parah terjadi pada ras Cocker Spanial, Germand Shepherd dan Doberman pada kondisi otitis eksterna dengan derajat sedang. Sementara ras lainnya tidak menunjukkan terjadinya otitis eksterna. Lichenifikasi derajat parah terjadi pada ras Pomeranian dan derajat ringan terjadi pada ras Germand Shepherd dan Germand Retriver. Ras lainnya pada kondisi sedang dalam kasus lichenifikasi. Ras Collie menunjukkan terjadinya seborrhea yang parah, dan Doberman pada kondisi seborrhea sedang sementara ras lainnya tidak menunjukkan terjadinya seborrhea. Perbedaan gejala klinis pada setiap ras karena setiap ras memiliki kerentanan yang berbeda-beda dan ketahanan tubuh yang berbeda pula.
Tabel 5 Topografi infestasi tungau Sarcoptes scabiei var. canis
Lokasi kerusakan kulit Ch Pm GS CS GR La Cl Po P SH Do
Telinga + + + + + + + + + + +
Wajah + + + + - + - - - + +
Kepala + + + + + + + + + + +
Dada + + + + + + - + + + +
Siku - - - + - + + - + - -
Abdomen - - + - - - + - - - -
Kaki - - + - + + - + + + +
Mata kaki - - + - + - - - - - -
Keterangan :
+ = mengalami kerusakan kulit La = Labrador
- = tidak mengalami kerusakan kulit Cl = Collie
Ch = Chow-chow Po = Poodle
Pm = Pomeraanian P = Pug
GS = Germand Shepherd SH = Siberian Husky
CS = Cocher Spanial Do = Doberman
GR = Germand Retriver
Berdasarkan tabel 5 setiap ras anjing memiliki lokasi yang berbeda-beda terhadap kerusakan kulit maupun kerontokan bulu yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var. Canis. Pada dasarnya lokasi kerusakan kulit pada setiap ras dapat menginfeksi bagian luar dari telinga dan kepala. Daerah wajah pun biasanya tempat infeksi atau kerusakan yang terjadi kecuali pada ras Germand Retriver, Collie dan Pug. Dada pun biasanya merupakan tempat kerusakan yang umum, kecuali pada ras Collie. Sementara daerah siku hanya terdapat kerusakan pada ras Cocker Spanial, Labrador, Collie dan Pug. Kerusakan dapat menyebar sampai pada abdomen pada ras Germand Shepherd dan Collie. Kaki merupakan tempat kerusakan yang sering terjadi pada ras Germand Shepherd, Germand Retriver, Labrador, Poodle, Pug, Siberian Husky dan Doberman. Mata kaki juga bisa mengalami kerusakan pada ras Germand Sherherd dan Germand Retriver. Apabila keadaan kerusakan kulit dan kerontokan rambut berlanjut karena anjing tidak mendapat pengobatan akan berakibat fatal sampai terjadi kematian. Gejala klinis yang terjadi pada setiap ras menyebabkan anjing kurang nafsu makan, lemah, bobot badan berkurang dan kegelisahan. Lokasi kerusakan dan kerontokan bulu yang berbeda setiap ras diakibatkan karna setiap ras anjing memilki kerentanan dan kepekaan berbeda-beda.
Tabel 6 Terapi penyakit skabies
Thn Penemu Terapi skabies pada anjing
1985 Theodorides Sulfur 6%, sebagai obat tertua pembunuh kutu. Berbentuk kristal padat berwarna kuning.
1988 Booth & Mc. Donald Lindane digunakan sebagai sabun, salep atau semprotan (spray) dengan konsentrasi 0,016-0,03 %. Benzyl benzoat 25% diaplikasikan secara topikal.
1988 Theodorides Ivermectin , PO dengan dosis 200 µg/kg BB, SC dengan dosis 200-400 µg/kg BB. Benzyl benzoat diaplikasikan secara topikal.
1989 Martin Ivermectin, PO dengan dosis 200 µg/kg BB, SC dengan dosis 200-400 µg/kg BB dan secara topikal dengan dosis 500 µg/kg BB
Thn Penemu Terapi skabies pada anjing
1997 Paradis et al Ivermectin, PO dosis 200 µg/kg BB, SC dosis 200-400 µg/kg BB dan secara topikal dosis 500 µg/kg BB. Amitraz diaplikasikan dengan cara dipping, setiap dua minggu sekali selama 2-3 kali.
2000 Bodewes et al Ivermectin, PO dengan dosis 200 µg/kg BB, SC dengan dosis 200-400 µg/kg BB dan secara topikal dengan dosis 500 µg/kg BB. Amitraz diaplikasikan dengan cara dipping, setiap dua minggu sekali selama 2-3 kali. Benzyl benzoat 25% , diaplikasikan secara topikal dan fipronil 0,25 % dengan cara semprot.
2005 Didier-Noel Carlotti Lime sulfur 6%, 2-3 kali selama 3-4 minggu. Organokhlorin seperti lindane. Amitraz, 3 kali per minggu selama 2 kali interval. Fipronil 3-6 ml/kg atau 2-3 kali per minggu. Ivermectin 200 µg/kg 3 kali, 7-10 hari interval. PO dengan dosis 250-400 µg/kg 2 kali selama 2 minggu interval. SC dengan dosis 400 µg/kg 2 kali. Milbemycin oxime dengan dosis 1-2 mg/kg tiap hari selama satu minggu. Moxidectin, PO dengan dosis 0,2-0,25 mg/kg tiap hari selama 2-6 minggu, SC dengan dosis 0,4 mg/kg 2 kali selama 2 minggu. Dan Salamectin dengan dosis 6-12 mg/kg 2 kali selama 1 bulan.
Dari tabel 6 dapat diambil informasi mengenai terapi skabies pada anjing. Berikut obat-obat yang sampai sekarang dapat digunakan : Sulfur (S) 6%, Lindane 1% salep, Benzyl benzoat 25%, Amitraz (mitabanR), Fipronil 3 ml/kg , Selamectin dan Milbemycin oxime. Selain obat-obat diatas, terapi skabies juga dapat dilakukan dengan pemberian obat tradisional, yaitu dengan mencampurkan bawang putih yang telah digerus dengan minyak, lalu di oleskan pada bagian tubuh yang terinfeksi skabies. Disamping obat-obat diatas diperlukan juga pengobatan dengan antimikroba yang baik yang diberikan secara topikal ataupun sistemik. Pengobatan tidak hanya dipusatkan pada tungaunya saja tetapi harus diarahkan secara keseluruhan terhadap faktor-faktor yang memicu imunusupresi (rendahnya daya tahan tubuh), seperti kurangnya nutrisi, situasi menajemen pemeliharaan yang penuh dengan tekanan (Muller at al.1993). Salah satu faktor predisposisi penyakit skabies adalah kondisi hewan yang buruk (Kettle 1984). Dengan pemberian makan dan minum yang cukup dan vitamin dan gizi yang lengkap serta perawatan yang baik, anjing akan memiliki daya tahan tubuh yang tinggi.
KESIMPULAN
1.Morfologi tungau Sarcoptes scabiei var. canis yaitu bentuk tubuh lonjong dengan bagian perut rata, translucent dan berwarna putih kotor. Panjang tungau antara 0,2-0,4 mm, tungau jantan lebih kecil daripada tungau betina.
2. Penularan skabies dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi atau kontak tidak langsung dengan berbagai objek.
3. Gejala klinis yang ditimbulakan adalah hewan terlihat menggaruk-garuk dan disertai dengan penurunan nafsu makan.
4. Area yang sering dan pertama kali diserang skabies adalah disekitar ujung telinga..
5. Terapi kasus Skabies pada anjing sampai saat ini masih menggunakan ivermectin sebagai pilihan pertama selanjutnya terdapat bermacam-macam obat yang bisa diberikan sebagai pilihan berikutnya yaitu lindane, Benzyl benzoate 5%, fipronil, amitraz, lime sulphur dan obat yang baru ditemukan milbemycin oxime, moxidectin dan salamectin. Selain dengan terapi obat-obat diatas, juga dapat diberikan obat tradisional yaitu campuran antara bawang putih yang telah digerus dengan minyak.
SARAN
1. Masih banyak penemuan-penemuan baru seputar scabies yang belum dimasukkan dalam penulisan ini jadi perlu pembahasan lebih dalam baik dari segi biologi, patogenesa maupun terapinya.
2. Perlu diadakan pembahasan lebih lanjut yang lebih mendasar dari segi terapi maupun diagnosa yang dilakukan pada kasus skabies pada anjing.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul latief. 2001. Studi Kasus Skabies pada Anjing periode januari 1999 – juli 2000. [SKRIPSI] Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Abu Samra. 2005. Acariasis. http://www.efsph@iastate.edu (12 juni 2006)
Akcherman L. 1994. Sarcoptic mange. http://www.peteducation.com/article.cfm?cls=2&cat=1589&articleid=764
(8 juni 2006)
Anonimus. 2006. Sarcoptic Mites and mange http://www.Thepetcenter.com/exa/mites.html (8 juni 2006)
Ashadi G & S Partosoejono. 1992. Penuntun Laboratorium parasitologi I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknology IPB. Bogor: Hal 239
Belding DL. 1965. Textbook of Clinical Parasitology. New York: Appleton Century Croft.
Brown HW. 1975. Basic Clinical Parasitology. New York: Appleton Century Crofts
Dan. 1999. Sarcoptic mange- You Can Get it. http:/www.dr-dan.com/sarcopt.htm (8 juni 2006)
Didier-Noer Carlotti. 2004. Canine Scabies : An Update. http://www.vin.com/Proceedings.plx?CID=WSAVA2004&8625&O=Generic (8 juni 2006)
Flynn JR. 1973. Parasites of Laboratory Animal. USA: The Iowa State University Press. Hal 884
Hungeford TG. 1975. Disease of livestock. Ed Ke-8. McGraw-Hill Book Company. Sydney. 1318 hal.
Jubb KVF, PC Kennedy & N Palmer. 1993. Pathology of Domestic Animals. Vol. ke-1. ed ke-4. Academy Press Inc. London. Hal 593
Kettle DS. 1984. Medical and Veterinary Entomology. Croom Helm. London- Sidney
Kelly JD. 1977. Canine Parasitology. Sydney: University of Sidney.
Levine ND 1994. Parasitology Veteriner. Terjemahan gatot Ashadi & Widianto. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal 544
Muller GH & RW Kirk. 1976. Small Animal Dermatology. Philadelphia: W.B. Sounders Company.
Nahm J & RM Corwin. 1997. Arthropoda. http://www.missouri.edu/-microrc/arthropods/Arachnida/scabies.htm (12 juni 2006)
Paradis M, CD Jaham, N Page. 1997. Topical (Pour-on) Ivermektin in The Treatmen of Canine Scabies. Can Vet. J., 38: 379-382.
http://www.peteducation.com/article.cfm?cls=2&cat=1589&articleid=764
(12 juni 2006)
Sitepoe M. 1997. Nyaman Bersama Hewan Kesayangan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia
Soulsby EJL. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domestic Animal. London: Balliere Tindall.Theodorides VJ. 1998. Anti Parasitic Drugs. Dalam J.R. Gregory (Ed). Prasitology for Veterinarians. Philadelphia: W.B Sounders Company.
Urguhart GM, J Armour, JL Duncan, AM.Dunn & FW Jennings. 1987. VeterinaryParasitology. New York : Churchill Livingstone Inc. Hal 286
Wendy C. 2006. Sarcoptes Scabiei (Scabies or Itch Mite). http://www.veterinarypartner.com/Content.plx?P=A&A=616 (13 juni 2006)
Judul Seminar : Biologi, Patogenesa dan Terapi Skabies pada Anjing
Penyaji / NRP : Fitri Juliyanti Siregar / B04101042
Pembimbing : Dr. Drh. Ahmad Arief Amin
Drh. R.P Agus Lelana SpMP, MSi.
Hari / Tanggal : Rabu / 02 Agustus 2006
Waktu : 09.00 – 10.00 WIB
ABSTRAK
Studi literatur ini bertujuan untuk mengkaji biologi, patogenesa dan terapi skabies pada anjing dengan mengambil bahan dan informasi dari buku, skripsi, jurnal, artikel dan wawancara langsung dengan dokter hewan praktek yang menangani kasus skabies pada anjing. Studi ini mempunyai dua permasalahan dasar yaitu (1) kasus skabies sebagai penyakit hewan strategis yang masih menjadi masalah dalam program hewan sehat di indonesia , (2) pengetahuan mengenai biologi, patogenesa dan terapi skabies pada anjing masih terus mangalami kemajuan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran hewan dan pengobatannya. Berdasarkan informasi yang kita pelajari bahwa biologi, dan patogenesa skabies memiliki perbedaan antar spesis anjing. Collie atau Australian Shepherd sangat sensitif terhadap ivermektin sebagai obat pilihan kasus skabies. Oleh karena itu kita harus hati hati.
ABSTRACT
The aim this literature study is to study the biology, pathogenesis and therapy of scabies in dog based on review of textbook, skripsi, journal, article and direct interview with veterinary practice who intensively handle the scabies cases. These study yieled two fundamental informations, namely (1) scabies cases as strategic animal disease is still problem for establishment of animal health program in Indonesia, (2) the knowledge of biology, pathogenesis and therapy of scabies in dog is still progress following the development of veterinary science and medicine. Based on this informations we learn that the biology, and pathogenesis of scabies is varies among dogs species. Collie or Australian Shepherd have very sensitive to ivermectin of drug choice of scabies. Therefore we need to be carefull.
PENDAHULUAN
Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi tungau Sarcoptes scabiei, biasanya menyerang daerah yang sedikit ditumbuhi bulu, seperti sekitar kepala, mata, telinga, siku, pada daerah perut bagian ventral dan lipatan paha. Apabila anjing telah positif skabies, perlu dilakukan pengobatan yang langsung membunuh tungau (mitecidal) secara topikal atau sistemik. Sampai saat ini penyakit skabies sebagai penyakit strategis masih belum dapat diatasi dengan baik terbukti masih banyaknya kasus-kasus skabies yang dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam biologi, patogenesa dan terapi skabies pada anjing dan mengetahui tingkat keparahan penyakit setiap ras anjing berdasarkan gejala klinisnya.
MATERI DAN METODE
Tempat dan waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data di praktek Drh. Koesharyono, Jl. Wijaya Kusuma I/26 Pasar Minggu Jakarta, Balai Kesehatan Hewan Departemen Pertanian RI Jakarta, Perpustakaan Balai Veteriner Cimanggu Bogor, Perpustakaan LSI IPB, Perpustakaan Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan internet. Penelitian ini berlangsung dari bulan April sampai Juli 2006.
Bahan dan Metode
Studi literatur untuk mengumpulkan informasi penyakit skabies pada anjing dari berbagai literatur, skripsi, jurnal, majalah, internet dan wawancara dengan dokter hewan praktek. Literatur berupa buku-buku parasit antara lain Jubb KVC dengan judul buku ”Pathology of Domestic Animals” dan Kelly JD dengan bukunya yang berjudul “Canine Parasitology”. Bahan dari internet dicari dengan metode pencarian informasi melalui Google. Metode wawancara dengan kunjungan ke praktek dokter hewan yang menangani kasus skabies. Data skabies diambil dari catatan harian dokter hewan praktek tersebut yaitu yang tercatat periode Oktober 2005 – Juni 2006. Waktu wawancara yang dilakukan pada tanggal 19 juni 2006.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 Perkembangan penemuan morfologi tungau Sarcoptes scabiei var. canis :
Thn Penemu Morfologi tungau Sarcoptes scabiei var. Canis
1965 Belding Bentuk tubuh tungau lonjong dengan bagian perut rata, translusen dan berwarna putih kotor.
1973 Flynn Tungau jantan dewasa memiliki ukuran 170-200 μm, dan tungau betina dewasa memiliki ukuran 200-240 μm. Pada tungau betina ditemukannya bagian tubuh yang disebut dengan setae, plastron, anus yang terletak di daerah terminal, bentuk celah longitudinal dan lubang genital yang sederhana, palpi, chelate chelacerae, ambulacra dan alat genital seperti lonceng.
1976 Muller & Kirk Tungau memiliki diameter 200-400 μm, tungau tidak memiliki mata dan organ respirasi.
1977 Kelly Diameter tungau berukuran 200-450μm.
1982 Soulsby Tungau jantan dewasa memiliki ukuran 200-240 x 150-250 μm dan tungau betina dewasa memiliki ukuran 300-500 x 240-400 μm. Ukuran nimfa antara 220-195 μm.
1984 Kettle Ditemukannya bagian-bagian yang disebut nototoraks, notogaster, plastron, epimeres, epiandrum, sucker atau alat hisap, ambulacra, bulu cambuk, kalisera, kapitulum, hipostom dan lubang kelamin berbentuk Y.
1993 Griffin Panjang tungau antara 0,2-0,4 mm, tungau jantan lebih kecil dari tungau betina.
1994 Ackerman Panjang tungau antara 0,2-0,4 mm, tungau jantan lebih kecil dari tungau betina.
1995
Muller & Kirk’s Panjang tungau antara 0,2-0,4 mm, tungau jantan lebih kecil dari tungau betina.
2002 Scott W Ukuran tungau berkisar antara 0,2-0,4 mm. Biasanya ukuran tungau jantan lebih kecil dibanding tungau betina.
2006 T.S.AU Panjang tungau betina dewasa 0,4 mm, sedangkan panjang tungau jantan dewasa 0,2 mm. Memiliki kaki-kaki yang pendek, kaki ketiga dan keempat tidak keluar melewati badan tungau.
2006 Oliver Chosidow Translusent dengan kaki-kaki coklatnya, panjang tungau 0,2-0,5 mm
Tabel 1 menunjukkan perkembangan morfologi tungau Sarcoptes scabiei seiring dengan perkembangan teknologi. Hingga saat ini bentuk dan ukuran tungau Sarcoptes scabiei var. Canis yaitu bentuk tubuh yang lonjong, punggung cembung, perut datar dan tembus cahaya (Belding 1965). Penelitian terbaru tungau Sarcoptes scabiei var. Canis oleh Oliver Chosidow (2006), Sarcoptes scabiei berukuran 0,2-0,5 mm dengan kaki-kaki coklatnya. Tidak menunjukkan perbedaan yang nyata jika ditinjau dari morfologi semenjak ditemukannya sampai tahun 2006.
Tabel 2 Patogenesa tungau Sarcoptes scabiei var. Canis
Thn Penemu Patogenesa tungau Sarcoptes scabiei var. Canis
1965 Greg Infeksi tungau Sarcoptes scabiei terutama sekali pada anjing-anjing muda dan pada ras-ras anjing berbulu pendek.
1973 Flynn Infeksi tungau Sarcoptes scabiei terutama pada anjing-anjing muda dan pada ras-ras anjing berbulu pendek.
1975 Brown Lesi awal biasanya ditemukan pada daerah yang sedikit ditumbuhi bulu, seperti sekitar kepala, mata, telinga dan siku, pada daerah perut bagian ventral dan lipatan paha
1976 Muller & Kirk’s Tungau Sarcoptes scabiei dapat menembus kulit manusia, tetapi kemudian kembali setelah beberapa jam, meninggalkan inang yang bukan definitif.
1977 Kelly Tungau menembus lapisan korneum epidermis kulit, menghisap cairan limfe dan juga memakan sel-sel epitel.
1982 Soulsby Tungau menembus lapisan korneum epidermis kulit, menghisap cairan limfe dan juga memakan sel-sel epitel
1984 Arlian et al. Sarcoptes scabiei var. Canis dapat bertahan hidup selama 9 hari pada suhu antara 15-25 0C dan kelembaban relaif (RH) antara 25-85 %.
1986 Grant Skabies merupakan penyakit yang sangat menular.
1987 Urguhart Lesi awal biasanya ditemukan pada daerah yang sedikit ditumbuhi bulu, seperti sekitar kepala, mata, telinga dan siku, pada daerah perut bagian ventral dan lipatan paha.
1995 Jubb et al. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau kontak tidak langsung dengan berbagi objek.
1996 Witjaksono
dan Sungkar Tungau lebih menyukai hidup pada hewan yang memiliki bulu panjang, tebal dan kotor.
1997 Nahm & Corwin Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau secara tidak langsung melalui objek perantara.
1999 Dan Tungau lebih menyukai hidup pada hewan yang memiliki bulu panjang, tebal dan kotor.
2002 Soeharsono Penularan dari hewan ke manusia terjadi melalui kontak lansung (karena kedekatan).
2005 Abu Samra et al. Sarcoptes scabiei var. Canis pada anjing, juga dapat menginfestasi hewan mamalia lain seperti kucing, babi, rubah, dan kelinci.
2006 Wendy C Sarcoptes saciei var. Canis dapat menginfeksi manusia, walaupun hanya sebagai inang sementara.
Tabel 2 menjelaskan tentang patogenesa tungau Sarcoptes scabiei var. Canis. Greg (1965) dan Flynn (1973) menyatakan bahwa infeksi tungau Sarcoptes scabiei var. Canis terutama sekali pada anjing-anjing muda dan pada ras-ras berbulu pendek. Pada anjing, kemungkinan untuk terinfeksi oleh tungau Sarcoptes scabiei var. Canis bisa terjadi tanpa membedakan bentuk, umur, jenis kelamin atau jenis ras. Tungau Sarcoptes scabiei var. Canis menembus lapisan korneum epidermis kulit, dengan cara menghisap cairan limfe dan juga memakan sel-sel epitel (Kelly 1977 dan Soulsby 1982). Tungau Sarcoptes scabiei var. Canis melakukan perkawinan di permukaan kulit dan meletakkan telur-telurnya di dalam terowongan yang dibuat sendiri oleh tungau Sarcoptes scabiei var. Canis. Setelah melakukan perkawinan, tungau jantan akan mati, sedangkan tungau betina bunting terus menggali terowongan dikulit. Perkembangan tungau dari menetasnya telur dalam terowongan yang kemudian menjadi larva, nimfa dan tungau dewasa membutuhkan 17-21 hari.
Tabel 3 Gejala klinis yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var. canis
Thn Penemu Gejala klinis Sarcoptes scabiei var. Canis
1971 Soulsby Terbentuknya papula merah atau vesikel dan keluarnya eksudat bening.
1973 Flynn Secara hispatologi, bentuk skabies ditandai dengan adanya fokal hiperteratosis, epiderma hiperplasia (kulit tebal).
1976 Muller & Kirk’s Pruritus yang nyata menyebaban adanya kerusakan pada kulit. Sarang-sarang tungau terbuka oleh trauma.
1982 Soulsby Berdasarkan bentuk dan lokasi tubuh yang mengalami kerusakan, skabies dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu, lesi awal (bentuk primer) dan bentuk sekunder (bentuk umum).
1984 Kettle Adanya reaksi hipersensitifitas akut dan reaksi yang kronis.
1986 Grant Gejala khas yang sering muncul adalah hewan terlihat seringkali menggaruk dan disertai dengan penurunan nafsu makan.
1987 Urguhart Area yang sering pertama kali diserang skabies adalah pada ujung telinga.
1993 Jubb el al Pada hewan yang kekurangan gizi atau yang mempunya daya tahan lemah, lesio ditandai dengan adanya alopesia, lichenifikasi (kulit seperti lumut), perlemakan, penebalan kulit yang bersisik dan berwarna kelabu.
Thn Penemu Gejala klinis Sarcoptes scabiei var. Canis
1999 Dan Infeksi dari tungau ini ditandai dengan gejala klinis seperti gatal yang terus menerus, kerontokan bulu, dan kerusakan pada kulit.
2000 Bodewes et al Bentuk-bentuk lesi yang terjadi bisa berupa alopesia, eritema dan pyoderma.
2002 Soeharsono lesi pada kulit diawali dengan timbulnya papula kecil berwarna merah, kemudian menjadi erythema yang bersifat meluas.
2005 Acha PN Gejala klinis Scabies ditandai dengan adanya pruritus berkelanjutan, menyebabkan kerontokan bulu. Bisa menyebabkan erytema, ulcers, kulit hemorragi.
Tabel 3 menggambarkan gejala klinis yang ditimbulkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var. Canis. Tahun 1971, Soulsby menyatakan terbentuknya papula merah atau vesikel dan keluarnya eksudat bening dari lesi bekas terinfeksi tungau tersebut. Dan (1999) gejala umum yang biasa ditemukan pada kasus skabies pada anjing ini yaitu infeksi tungau ditandai dengan gejala klinis seperti gatal yang terus-menerus, yang dilanjutkan dengan kerontokan bulu dan berakibat kerusakan pada kulit.
Tabel 4 tingkat keparahan penyakit skabies berdasarkan gejala klinisnya.
Gejala klinis Ch Pm GS CS GR La Cl Po P SH Do
Pruritus +++ +++ ++ ++ +++ +++ +++ +++ ++ +++ +++
Eritema ++ ++ + ++ ++ ++ ++ ++ +++ +++ ++
Papula ++ ++ + ++ ++ ++ ++ ++ +++ ++ ++
Makula ++ ++ + ++ ++ ++ ++ ++ +++ +++ ++
Ekskorasi + ++ + + + ++ + + ++ ++ +
Folikulitis ++ ++ + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ +-
Alopecia +++ +++ + +++ ++ +++ +++ ++ +++ +++ +
Pengerasan kulit ++ +++ + + ++ ++ + ++ +++ ++ +
Hyperpigmentasi ++ +++ + + ++ ++ +- + ++ ++ +
Otitis eksterna - - + ++ - - - - - - +
Lichenifikasi + ++ +- + +- + + + + + +
Seborrhea - - - - - - ++ - - - +
Keterangan :
+++ = sangat parah CS = Cocher Spanial
++ = parah GR = Germand Retriver
+ = sedang La = Labrador
+/- = ringan Cl = Collie
- = tidak terinfeksi Po = Poodle
Ch = Chow-chow P = Pug
Pm = Pomeraanian SH = Siberian Husky
GS = Germand Shepherd Do = Doberman
Menurut Abdul Latif (2001) data yang diperoleh dari Rumah Sakit Hewan Jakarta periode Januari 1999 – Juli 2000 terdapat 70 (0,57 %) kasus skabies dari 12362 ekor total jumlah pasien. Jumlah ini terdiri atas 17 ras anjing dengan umur berkisar antara 2 bulan hingga 13 tahun. Berdasarkan tabel 4 pruritus yang terjadi pada setiap ras menunjukkan keparahan yang sangat kecuali pada ras Germand Shepherd, Cocker Spanial dan Pug dengan pruritus cukup parah. Eritema, papula dan makula yang terjadi sebagai akibat dari pruritus berkelanjutan menunjukkan keparahan yang sangat pada ras Pug dan Siberian Husky, sementara ras lainnya hanya kondisi yang cukup parah. Ekskorasi yang parah terlihat pada ras Pomeranian, Labrador, Pug dan Siberian Husky, sementara ras lainnya hanya terjadi ekskorasi yang sedang saja. Pada umumnya folikulitis terjadi pada setiap ras, dengan kondisi yang cukup parah, kecuali pada ras Germand Shepherd yang hanya terjadi folikulitis sedang dan pada ras Doberman derajat folikulitis ringan. Alopesia yang terjadi sangat parah pada kebanyakan ras, hanya ras Germand Retriver, poodle yang derajat alopesianya cukup parah, sedangkan ras Germand shepherd dan doberman pada derajat sedang. Pengerasan kulit yang sangat parah hanya terjadi pada ras Pomeranian dan Pug, sementara ras Chow-chow, Germand Retriver, Labrador, poodle, dan Siberian husky menunjukkan pengerasan kulit yang parah. Dan di kondisi sedang ada ras German Shepherd, Cocker Spanial, dan Collie. Hyperpigmentasi yang sangat parah hanya terjadi pada ras Pomeranian, Chow-chow, Germand Retriver, Labrador, Pug dan Siberian Husky menunjukkan hyperpigmentasi yang cukup parah. Pada kondisi ringan dari hyperpigmentasi adalah ras Germand Shepherd, Cocker Spanial, Poodle dan Doberman. Sementara Collie hanya menunjukkan kondisi hyperpygmentasi yang ringan. Otitis eksterna yang parah terjadi pada ras Cocker Spanial, Germand Shepherd dan Doberman pada kondisi otitis eksterna dengan derajat sedang. Sementara ras lainnya tidak menunjukkan terjadinya otitis eksterna. Lichenifikasi derajat parah terjadi pada ras Pomeranian dan derajat ringan terjadi pada ras Germand Shepherd dan Germand Retriver. Ras lainnya pada kondisi sedang dalam kasus lichenifikasi. Ras Collie menunjukkan terjadinya seborrhea yang parah, dan Doberman pada kondisi seborrhea sedang sementara ras lainnya tidak menunjukkan terjadinya seborrhea. Perbedaan gejala klinis pada setiap ras karena setiap ras memiliki kerentanan yang berbeda-beda dan ketahanan tubuh yang berbeda pula.
Tabel 5 Topografi infestasi tungau Sarcoptes scabiei var. canis
Lokasi kerusakan kulit Ch Pm GS CS GR La Cl Po P SH Do
Telinga + + + + + + + + + + +
Wajah + + + + - + - - - + +
Kepala + + + + + + + + + + +
Dada + + + + + + - + + + +
Siku - - - + - + + - + - -
Abdomen - - + - - - + - - - -
Kaki - - + - + + - + + + +
Mata kaki - - + - + - - - - - -
Keterangan :
+ = mengalami kerusakan kulit La = Labrador
- = tidak mengalami kerusakan kulit Cl = Collie
Ch = Chow-chow Po = Poodle
Pm = Pomeraanian P = Pug
GS = Germand Shepherd SH = Siberian Husky
CS = Cocher Spanial Do = Doberman
GR = Germand Retriver
Berdasarkan tabel 5 setiap ras anjing memiliki lokasi yang berbeda-beda terhadap kerusakan kulit maupun kerontokan bulu yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var. Canis. Pada dasarnya lokasi kerusakan kulit pada setiap ras dapat menginfeksi bagian luar dari telinga dan kepala. Daerah wajah pun biasanya tempat infeksi atau kerusakan yang terjadi kecuali pada ras Germand Retriver, Collie dan Pug. Dada pun biasanya merupakan tempat kerusakan yang umum, kecuali pada ras Collie. Sementara daerah siku hanya terdapat kerusakan pada ras Cocker Spanial, Labrador, Collie dan Pug. Kerusakan dapat menyebar sampai pada abdomen pada ras Germand Shepherd dan Collie. Kaki merupakan tempat kerusakan yang sering terjadi pada ras Germand Shepherd, Germand Retriver, Labrador, Poodle, Pug, Siberian Husky dan Doberman. Mata kaki juga bisa mengalami kerusakan pada ras Germand Sherherd dan Germand Retriver. Apabila keadaan kerusakan kulit dan kerontokan rambut berlanjut karena anjing tidak mendapat pengobatan akan berakibat fatal sampai terjadi kematian. Gejala klinis yang terjadi pada setiap ras menyebabkan anjing kurang nafsu makan, lemah, bobot badan berkurang dan kegelisahan. Lokasi kerusakan dan kerontokan bulu yang berbeda setiap ras diakibatkan karna setiap ras anjing memilki kerentanan dan kepekaan berbeda-beda.
Tabel 6 Terapi penyakit skabies
Thn Penemu Terapi skabies pada anjing
1985 Theodorides Sulfur 6%, sebagai obat tertua pembunuh kutu. Berbentuk kristal padat berwarna kuning.
1988 Booth & Mc. Donald Lindane digunakan sebagai sabun, salep atau semprotan (spray) dengan konsentrasi 0,016-0,03 %. Benzyl benzoat 25% diaplikasikan secara topikal.
1988 Theodorides Ivermectin , PO dengan dosis 200 µg/kg BB, SC dengan dosis 200-400 µg/kg BB. Benzyl benzoat diaplikasikan secara topikal.
1989 Martin Ivermectin, PO dengan dosis 200 µg/kg BB, SC dengan dosis 200-400 µg/kg BB dan secara topikal dengan dosis 500 µg/kg BB
Thn Penemu Terapi skabies pada anjing
1997 Paradis et al Ivermectin, PO dosis 200 µg/kg BB, SC dosis 200-400 µg/kg BB dan secara topikal dosis 500 µg/kg BB. Amitraz diaplikasikan dengan cara dipping, setiap dua minggu sekali selama 2-3 kali.
2000 Bodewes et al Ivermectin, PO dengan dosis 200 µg/kg BB, SC dengan dosis 200-400 µg/kg BB dan secara topikal dengan dosis 500 µg/kg BB. Amitraz diaplikasikan dengan cara dipping, setiap dua minggu sekali selama 2-3 kali. Benzyl benzoat 25% , diaplikasikan secara topikal dan fipronil 0,25 % dengan cara semprot.
2005 Didier-Noel Carlotti Lime sulfur 6%, 2-3 kali selama 3-4 minggu. Organokhlorin seperti lindane. Amitraz, 3 kali per minggu selama 2 kali interval. Fipronil 3-6 ml/kg atau 2-3 kali per minggu. Ivermectin 200 µg/kg 3 kali, 7-10 hari interval. PO dengan dosis 250-400 µg/kg 2 kali selama 2 minggu interval. SC dengan dosis 400 µg/kg 2 kali. Milbemycin oxime dengan dosis 1-2 mg/kg tiap hari selama satu minggu. Moxidectin, PO dengan dosis 0,2-0,25 mg/kg tiap hari selama 2-6 minggu, SC dengan dosis 0,4 mg/kg 2 kali selama 2 minggu. Dan Salamectin dengan dosis 6-12 mg/kg 2 kali selama 1 bulan.
Dari tabel 6 dapat diambil informasi mengenai terapi skabies pada anjing. Berikut obat-obat yang sampai sekarang dapat digunakan : Sulfur (S) 6%, Lindane 1% salep, Benzyl benzoat 25%, Amitraz (mitabanR), Fipronil 3 ml/kg , Selamectin dan Milbemycin oxime. Selain obat-obat diatas, terapi skabies juga dapat dilakukan dengan pemberian obat tradisional, yaitu dengan mencampurkan bawang putih yang telah digerus dengan minyak, lalu di oleskan pada bagian tubuh yang terinfeksi skabies. Disamping obat-obat diatas diperlukan juga pengobatan dengan antimikroba yang baik yang diberikan secara topikal ataupun sistemik. Pengobatan tidak hanya dipusatkan pada tungaunya saja tetapi harus diarahkan secara keseluruhan terhadap faktor-faktor yang memicu imunusupresi (rendahnya daya tahan tubuh), seperti kurangnya nutrisi, situasi menajemen pemeliharaan yang penuh dengan tekanan (Muller at al.1993). Salah satu faktor predisposisi penyakit skabies adalah kondisi hewan yang buruk (Kettle 1984). Dengan pemberian makan dan minum yang cukup dan vitamin dan gizi yang lengkap serta perawatan yang baik, anjing akan memiliki daya tahan tubuh yang tinggi.
KESIMPULAN
1.Morfologi tungau Sarcoptes scabiei var. canis yaitu bentuk tubuh lonjong dengan bagian perut rata, translucent dan berwarna putih kotor. Panjang tungau antara 0,2-0,4 mm, tungau jantan lebih kecil daripada tungau betina.
2. Penularan skabies dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi atau kontak tidak langsung dengan berbagai objek.
3. Gejala klinis yang ditimbulakan adalah hewan terlihat menggaruk-garuk dan disertai dengan penurunan nafsu makan.
4. Area yang sering dan pertama kali diserang skabies adalah disekitar ujung telinga..
5. Terapi kasus Skabies pada anjing sampai saat ini masih menggunakan ivermectin sebagai pilihan pertama selanjutnya terdapat bermacam-macam obat yang bisa diberikan sebagai pilihan berikutnya yaitu lindane, Benzyl benzoate 5%, fipronil, amitraz, lime sulphur dan obat yang baru ditemukan milbemycin oxime, moxidectin dan salamectin. Selain dengan terapi obat-obat diatas, juga dapat diberikan obat tradisional yaitu campuran antara bawang putih yang telah digerus dengan minyak.
SARAN
1. Masih banyak penemuan-penemuan baru seputar scabies yang belum dimasukkan dalam penulisan ini jadi perlu pembahasan lebih dalam baik dari segi biologi, patogenesa maupun terapinya.
2. Perlu diadakan pembahasan lebih lanjut yang lebih mendasar dari segi terapi maupun diagnosa yang dilakukan pada kasus skabies pada anjing.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul latief. 2001. Studi Kasus Skabies pada Anjing periode januari 1999 – juli 2000. [SKRIPSI] Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Abu Samra. 2005. Acariasis. http://www.efsph@iastate.edu (12 juni 2006)
Akcherman L. 1994. Sarcoptic mange. http://www.peteducation.com/article.cfm?cls=2&cat=1589&articleid=764
(8 juni 2006)
Anonimus. 2006. Sarcoptic Mites and mange http://www.Thepetcenter.com/exa/mites.html (8 juni 2006)
Ashadi G & S Partosoejono. 1992. Penuntun Laboratorium parasitologi I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknology IPB. Bogor: Hal 239
Belding DL. 1965. Textbook of Clinical Parasitology. New York: Appleton Century Croft.
Brown HW. 1975. Basic Clinical Parasitology. New York: Appleton Century Crofts
Dan. 1999. Sarcoptic mange- You Can Get it. http:/www.dr-dan.com/sarcopt.htm (8 juni 2006)
Didier-Noer Carlotti. 2004. Canine Scabies : An Update. http://www.vin.com/Proceedings.plx?CID=WSAVA2004&8625&O=Generic (8 juni 2006)
Flynn JR. 1973. Parasites of Laboratory Animal. USA: The Iowa State University Press. Hal 884
Hungeford TG. 1975. Disease of livestock. Ed Ke-8. McGraw-Hill Book Company. Sydney. 1318 hal.
Jubb KVF, PC Kennedy & N Palmer. 1993. Pathology of Domestic Animals. Vol. ke-1. ed ke-4. Academy Press Inc. London. Hal 593
Kettle DS. 1984. Medical and Veterinary Entomology. Croom Helm. London- Sidney
Kelly JD. 1977. Canine Parasitology. Sydney: University of Sidney.
Levine ND 1994. Parasitology Veteriner. Terjemahan gatot Ashadi & Widianto. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal 544
Muller GH & RW Kirk. 1976. Small Animal Dermatology. Philadelphia: W.B. Sounders Company.
Nahm J & RM Corwin. 1997. Arthropoda. http://www.missouri.edu/-microrc/arthropods/Arachnida/scabies.htm (12 juni 2006)
Paradis M, CD Jaham, N Page. 1997. Topical (Pour-on) Ivermektin in The Treatmen of Canine Scabies. Can Vet. J., 38: 379-382.
http://www.peteducation.com/article.cfm?cls=2&cat=1589&articleid=764
(12 juni 2006)
Sitepoe M. 1997. Nyaman Bersama Hewan Kesayangan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia
Soulsby EJL. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domestic Animal. London: Balliere Tindall.Theodorides VJ. 1998. Anti Parasitic Drugs. Dalam J.R. Gregory (Ed). Prasitology for Veterinarians. Philadelphia: W.B Sounders Company.
Urguhart GM, J Armour, JL Duncan, AM.Dunn & FW Jennings. 1987. VeterinaryParasitology. New York : Churchill Livingstone Inc. Hal 286
Wendy C. 2006. Sarcoptes Scabiei (Scabies or Itch Mite). http://www.veterinarypartner.com/Content.plx?P=A&A=616 (13 juni 2006)
”Hati seorang bodoh ada dimulutnya,
tetapi mulut seorang bijaksana ada dihatinya”.
”Jangan biarkan apa yang tidak dapat anda lakukan mengganggu apa yang dapat anda lakukan” (John Wooden)
Ayah ... Ibu...
Saat ini anakmu yang manja dan yang selalu ingin berada dipelukanmu
mulai mengerti fatwa hidup yang kau bisikkan disepanjang lankahku
Dilangkah baru dan awal bulan ini
masa-masa indah dan masa sulit yang telah kita lewati
menterjemahkan makna nasehat dan harapanmu akanku, anakmu...
Selalu ada dalam sanubari lukisan dan garis raut wajahmu
yang dengan tulus dan ikhlas mencurahkan kasih sayang
setiap butir keringatmu adalah langkah pasti untukku meraih cita-cita
tergambar jelas senyum dan tawa harap kasihmu
dan masih menyentuh tangis bahagiamu yang menguatkan harapan dan impianku
Ayah...Ibu...
Setiap lantunan nasehatmu takkan kulupa karena barisan kata-kata yang kau sematkan dihati
kujadikan mata hati pembimbing langkahku
Terima kasih atas ketulusan doa, kepercayaan dan kasih sayang yang kau curahkan
Kupersembahkan karya ilmiahku ini
kepada kedua orangtuaku yang amat sangat kusayangi
Karena kekuatan dan ketegaran darimu yang membuatku sampai di jalan ini
karena ketulusan dan keihklasanmu
hingga senyum dan tawaku indah seperti ini
Terimakasih... ayah...ibu...panuatan dan muatiara hatiku.
(Fitri Juliyanti Siregar, Bogor city, Agustus 2006 yang indah)
Horas tu hita sudena!!!
tetapi mulut seorang bijaksana ada dihatinya”.
”Jangan biarkan apa yang tidak dapat anda lakukan mengganggu apa yang dapat anda lakukan” (John Wooden)
Ayah ... Ibu...
Saat ini anakmu yang manja dan yang selalu ingin berada dipelukanmu
mulai mengerti fatwa hidup yang kau bisikkan disepanjang lankahku
Dilangkah baru dan awal bulan ini
masa-masa indah dan masa sulit yang telah kita lewati
menterjemahkan makna nasehat dan harapanmu akanku, anakmu...
Selalu ada dalam sanubari lukisan dan garis raut wajahmu
yang dengan tulus dan ikhlas mencurahkan kasih sayang
setiap butir keringatmu adalah langkah pasti untukku meraih cita-cita
tergambar jelas senyum dan tawa harap kasihmu
dan masih menyentuh tangis bahagiamu yang menguatkan harapan dan impianku
Ayah...Ibu...
Setiap lantunan nasehatmu takkan kulupa karena barisan kata-kata yang kau sematkan dihati
kujadikan mata hati pembimbing langkahku
Terima kasih atas ketulusan doa, kepercayaan dan kasih sayang yang kau curahkan
Kupersembahkan karya ilmiahku ini
kepada kedua orangtuaku yang amat sangat kusayangi
Karena kekuatan dan ketegaran darimu yang membuatku sampai di jalan ini
karena ketulusan dan keihklasanmu
hingga senyum dan tawaku indah seperti ini
Terimakasih... ayah...ibu...panuatan dan muatiara hatiku.
(Fitri Juliyanti Siregar, Bogor city, Agustus 2006 yang indah)
Horas tu hita sudena!!!
Subscribe to:
Posts (Atom)